Oleh Bahrul Ulum
Kaum Muslimin meyakini bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan oleh Sang Pencipta Alam.
Ia adalah kalam Allah yang berbeda dengan teks-teks buatan manusia
seperti buku, koran atau majalah. Karenanya, dalam memperlakukan kitab
ini, umat Islam memiliki adab yang jelas.
Hal
ini dimaksudkan agar orang yang mengaku beriman pada Allah tidak
sembarang memperlakukan kalam suci ini, baik terhadap fisiknya, apalagi
isinya. Rasulullah
dalam riwayat Tirmidzi telah mengancam setiap orang yang berani
menafsirkan Al-Qur’an tanpa ilmu dengan ancaman yang besar yaitu neraka.
Karena
itu setiap orang yang beriman hendaknya mengetahui adab-adab terhadap
Al-Qur’an dengan baik. Diantara adab yang harus perhatikan bagi yang
hendak memahami atau menafsirkan Al-Qur’an antara lain wajib menguasai
bahasa Arab. Seorang
tabi’in bernama Mujahid pernah berkata,”Tidak halal bagi seorang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai sesuatu yang
terdapat dalam Al-Qur’an sedang ia tidak paham bahasa Arab”.
Ini artinya, hukumnya
haram bagi seseorang yang tidak menguasai bahasa Arab dengan baik tapi
berani berpendapat tentang sesuatu yang ada di dalamnya. Mereka yang
berani melakukan hal itu sama saja menganggap kalam IIahi ini bukan sebagai kitab suci, sebagaimana keyakinan orang-orang kafir.
Komponen
dalam bahasa Arab itu banyak dan harus dikuasai dengan baik sebelum
memahami dan menafsirkan Al-Qur’an. Diantaranya harus menguasai
nahwu-shorof untuk mengetahui perubahan kalimat. Kemudian asalibul
(talisitas) bahasa Arab untuk mengetahui gaya bahasa
(balaghah) supaya bisa mengetahui kalimat majaz (arti yang tidak
sebenarnya) dan isti’aroh (peribahasa)-nya.
Selain itu harus menguasai ilmu dhilalah atau mahfumu nusus (pemahaman khusus). Misalkan, dalam Al-Qur’an kata perintah tidak semuanya menunjukkan kata wajib. Lalu juga harus menguasai ilmu tarakib (susunan kalimat).
Demikian juga harus memahami bahwa kadang suatu ayat yang menunjukkan keumuman arti (‘âm), ternyata keumuman itu dibatasi oleh ayat yang lain (takhshîshul-‘âm). Atau arti suatu ayat terlalu global (mujmal), sehingga kemudian diperinci (tafshîl)
oleh ayat yang lain. Juga melihat indikasi-indikasi dan
petunjuk-petunjuk yang dimunculkan ayat, keterkaitan antara suatu ayat
dengan yang mendahului dan yang menyudahinya, dan lain sebagainya. Dan
semua ini memerlukan metodologi yang baku.
Ilmu-ilmu
ini harus dikuasai sebelum memahami atau menafsirkan Al-Qur’an. Kalau
tidak, maka pemahaman atau penafsirannya pasti ngawur dan tidak bisa
dipertangungjawabkan secara ilmiah.
Sebagai
contoh, penafsiran yang dilakukan Agus Mustofa dalam karya-karyanya
yang terhimpun dalam buku serial diskusi tasawuf modern, jauh dari penafsiran ilmiah bahkan penafsiranya menyesatkan.
Ini karena ia tidak menguasai kaidah-kaidah bahasa Arab dengan baik.
Misalkan ia tidak bisa membedakan antara hawa sebagai hawa nafsu dan
hawa sebagai ibu Hawa, istri Nabi Adam. Padahal awalan kedua kata
tersebut jelas berbeda. Yang pertama berawalan (ه), yang kedua berawalan (ح ).
Lebih parah lagi, ia juga berani membuat metode penafsiran sendiri yang dinamakan metode puzzle. Metode yang tidak dikenal dalam
tradisi keilmuan Islam ini, jika ditelaah metode itu menyesatkan. Ini
karena ia hanya didasarkan pada persepsi dangkal tanpa referensi yang
jelas.
Cara
kerja metode ini yaitu mengambil ayat-ayat yang berkaitan dengan topik
tertentu yang tersebar di beberapa surat dalam Al-Qur’an, kemudian
digabungkan, dirumuskan untuk mendapatkan gambaran utuhnya menurut
persepsinya.
Sekadar
contoh, dalam buku serial diskusi tasawuf modern ke-2,” Ternyata
Akhirat Tidak Kekal”, sebagaimana diceritakan sendiri, sebelumnya ia
sudah berpersepsi bahwa ‘tidak logis’ kalau akhirat itu kekal, sebab
jelas yang kekal itu hanya Allah SWT saja. Karena itu untuk membenarkan
persepsi ini, ia kemudian mengumpulkan ayat-ayat mengenai akhirat, lalu
menyeleksinya, dan menggiringnya agar sesuai dengan persepsi awal yang
telah dibangunnya. Setelah menemukan ayat yang cocok, yaitu ayat yang
terdapat dalam QS. Hud [11]: 108, ia kemudian mati-matian melakukan
rasionalisasi, dan menyatakan bahwa akhirat memang tidak kekal, dengan
berdasarkan ayat itu.
Kesimpulannya itu ia dasarkan pada kata “illâ mâ syâ’a Rabbuka”
(kecuali jika Tuhanmu menghendaki [yang lain]). Padahal jika hanya
menyandarkan pada kata itu jelas tiak tepat. Sebab selain tidak seirama
dengan ratusan ayat yang lain, kajian ini juga tidak metodologis. Dalam
hal ini ia tidak memperhatikan rentetan ayatnya, tapi hanya fokus pada
kalimat tersebut. Padahal rentetan ayat itu mengatakan “’athâ’an ghaira majdzûdz”
(sebagai karunia yang tiada putus-putusnya), yang sebetulnya sudah
menepis praduga Agus Mustofa (akhirat tidak kekal) dengan tanpa
memperhatikan ayat-ayat yang lain.
Demikian juga jika
ayat tersebut ditafsiri dengan ayat Al-Qur’an yang lain, hasilnya
akhirat kekal abadi. Demikianlah yang dinyatakan dalam ratusan ayat lain
secara tegas. Demikian pula keterangan dari Hadits-Hadits sahih,
sekaligus kesepakatan para ulama. Berdasar hal ini kemudian kaum
muslimin meyakini bahwa akhirat itu kekal karena dikekalkan oleh Allah.
Sedang kekalnya Allah karena kekal dengan sendirinya.
Kesalahan
lain metode puzzle, yaitu tidak menyertakan Hadits sebagai salah satu
komponennya. Padahal tidak semua ayat Al-Qur’an bisa ditafsiri dengan
ayat lainnya. Terdapat sekian banyak ayat Al-Qur’an yang justru
penjelasan rincinya tidak didapati dalam Al-Qur’an, namun ada dalam
Hadits. Misalnya tentang bagaimana cara shalat yang benar, sebab
Al-Qur’an hanya memerintahkan “aqîmush-shalâh” (dirikanlah shalat),
dengan tanpa memberikan penjabarannya. Begitu pula perintah puasa,
zakat, dan haji. Perintah dalam Al-Qur’an adalah global, kemudian
dirinci dan dijelaskan oleh Hadits. Demikian pula ayat-ayat mutasyâbihât yang tidak bisa diketahui maksudnya kecuali melalui Hadits.
Dengan
demikian, jelaslah sudah, bahwa metode puzzle yang digunakan Agus
Mustofa untuk menafsiri Al-Qur’an, berbeda seratus persen dengan metode tafsîrul-Qur’ân bil-Qur’ân
yang digunakan oleh para ulama. Metode puzzle inilah yang
menjerumuskannya ke dalam jurang kekeliruan, seperti terjadi pada
sekte-sekte sesat.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Aris Gunawan dalam buku RLQ (Revolutionary Way in Learning Qur'an).
Tanpa bekal bahasa Arab yang memadai, ia seenaknya menafsiri Al-Qur’an.
Misalkan ia mengartikan kata “hadits” dalam surat Luqman ayat 6 sebagai
Hadits Rasulullah. Padahal yang benar kata itu artinya adalah “perkataan” karena ia berkedudukan sebagai mudhaf ilaih dari kata “lahwu (sia-sia)” yang berkedudukan sebagai mudhaf. “Lahwu
al-hadits” adalah idhafah yang jika dipisahkan akan rancu artinya. Kata
tersebut menurut Ibnu Abbas bermakna perkataan atau syair orang-orang bodoh (lihat tafsir Qurtubi), bukan Hadits Rasulullah.
Kalau “hadits” dalam
ayat itu diartikan sebagai Hadits Rasulullah, sehingga harus
ditinggalkan, lalu bagaimana dengan surat Al Waqiah ayat 81, dimana
Allah yang Maha Benar mencelah orang yang meremehkan “hadits”.
Ini artinya, jika kata “hadits” dalam kedua ayat itu diartikan Hadits Rasulullah berarti Allah
tidak konsisten dan ini tidak mungkin terjadi. Karena itu, kata
“hadits” dalam kedua ayat tersebut tidak bisa diartikan sebagai Hadits
Rasulullah. “Hadits” dalam surat Luqman artinya perkataan, sedang dalam
surat Waqiah maksudnya adalah Al-Qur’an.
Contoh di atas hanya sebagai bukti bahwa seseorang yang tidak paham bahasa Arab, hasil pemafsirannya akan ‘ngawur’ dan menyesatkan.
Karena itu setiap
orang yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya hendaknya berhati-hati
terhadap setiap penafsiran yang tidak berdasar pada kaidah yang benar.
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang suci, bukan mahluk seperti koran,
sehingga harus dijaga kesuciannya. (Bahrul Ulum)
Yaps, bener banget kalo kita mau bisa mengerti bahasa alqur'an sama aja faham baasa arab biar lebih mengena dalam mengamalkan ajaran Allah, thanks gan buat info yg membantu ini, salam kenal dari pondok pesantren nurul ilmi darunnajah 14, iseng" bisa mampir ke website kami ==> nurul-ilmi.com :)
BalasHapus