“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf: 2).

Jumat, 23 Oktober 2015

KEUTAMAAN PUASA ASYURA

Sejarah puasa ‘Asyura
Hari ‘Asyura atau 10 Muharram adalah hari yang agung, pada hari tersebut Allah menyelamatkan nabi Musa dan Harun ‘alaihimas salam dan Bani Israil dari pengejaran Fir’aun dan bala tentaranya di Laut Merah. Untuk mensyukuri nikmat yang agung tersebut, kaum Yahudi diperintahkan untuk melaksanakan shaum ‘Asyura.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله عَنْهُمَا، قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ فَرَأَى اليَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: «مَا هَذَا؟»، قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى الله بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ مُوسَى، قَالَ: «فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ»، فَصَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallalhu ‘alaihi wa salam tiba di Madinah, maka beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa hari ‘Asyura. Beliau bertanya kepada mereka: “Ada apa ini?”
Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang baik. Pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka. Maka Nabi Musa berpuasa pada hari ini.”
Nabi shallallalhu ‘alaihi wa salam bersabda, “Saya lebih layak dengan nabi Musa dibandingkan kalian.” Maka beliau berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan para shahabat untuk berpuasa ‘Asura.”(HR. Bukhari no. 2204 dan Muslim no. 1130)
Kaum musyrik Quraisy sendiri juga telah melaksanakan shaum ‘Asyura pada zaman jahiliyah. Mereka menganggap hari tersebut adalah hari yang agung sehingga mereka melakukan penggantian kain Ka’bah (kiswah) pada hari tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam juga telah melakukan puasa ‘Asyura sejak sebelum diangkat menjadi nabi sampai saat beliau berhijrah ke Madinah. Hal ini mengindikasikan, wallahu a’lam, puasa ‘Asyura diwarisi oleh kaum Quraisy dari ajaran nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas salam.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا قَالَتْ: كَانُوا يَصُومُونَ عَاشُورَاءَ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ رَمَضَانُ، وَكَانَ يَوْمًا تُسْتَرُ فِيهِ الكَعْبَةُ، فَلَمَّا فَرَضَ الله رَمَضَانَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ شَاءَ أَنْ يَصُومَهُ فَلْيَصُمْهُ، وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتْرُكَهُ فَلْيَتْرُكْهُ»
Dari Aisyah radiyallahu ‘anha berkata: “Mereka biasa melakukan puasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan. Pada hari tersebut Ka’bah diberi kain penutup (kiswah). Ketika Allah mewajibkan puasa Ramadhan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Baarangsiapa ingin berpuasa ‘Asyura, silahkan ia berpuasa. Dan barangsiapa ingin tidak berpuasa ‘Asyura, silahkan ia tidak berpuasa.” (HR. Bukhari no. 1592)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا، قَالَتْ: «كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ، فَلَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ صَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ»
Dari Aisyah radiyallahu ‘anha berkata: “Kaum musyrik Quraisy mengerjakan puasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) sejak zaman jahiliyah. Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengerjakan puasa ‘Asyura. Ketika beliau tiba di Madinah, maka beliau berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Kemudian ketika puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa hari ‘Asyura. Maka barangsiapa ingin, ia boleh berpuasa ‘Asyura. Dan barangsiapa ingin, ia boleh tidak berpuasa.” (HR. Bukhari no. 2002 dan Muslim no. 1125, dengan lafal Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam pada waktu di Madinah mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan shaum ‘Asyura.
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ رَضِيَ الله عَنْهُ، قَالَ: أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ: ” أَنْ أَذِّنْ فِي النَّاسِ: أَنَّ مَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ أَكَلَ فَلْيَصُمْ، فَإِنَّ اليَوْمَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ “
Dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan seseorang dari suku Aslam: “Umumkanlah kepada masyarakat bahwa barangsiapa tadi pagi telah makan, maka hendaklah ia berpuasa pada sisa harinya. Dan barangsiapa belum makan tadi pagi, maka hendaklah ia berpuasa. Karena hari ini adalah hari Asyura’.” (HR. Bukhari no. 2007 dan Muslim no. 1824)
عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ، قَالَتْ: أَرْسَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الأَنْصَارِ: «مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا، فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا، فَليَصُمْ»، قَالَتْ: فَكُنَّا نَصُومُهُ بَعْدُ، وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا، وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ العِهْنِ، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ الإِفْطَارِ
Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengirimkan seorang pemberi pengumuman pada pagi hari ‘Asyura ke kampung-kampung Anshar, untuk mengumumkan “Barangsiapa siapa tadi pagi telah makan, hendaklah ia menyempurnakannya sampai akhir hari ini (berpuasa) dan barangsiapa telah berpuasa sejak tadi pagi, maka hendaklah ia berpuasa.”
Sejak saat itu kami selalu berpuasa ‘Asyura dan kami jadikan anak-anak kecil kami berpuasa ‘Asyura. Kami membuatkan mainan boneka untuk mereka dari bulu domba. Jika salah seorang di antara mereka menangis karena lapar, maka kami berikan kepadanya mainana itu, begitulah sampai datangnya waktu berbuka.” (HR. Bukhari no. 1960 dan Muslim no. 1136)
Dengan turunnya kewajiban puasa Ramadhan, maka status hukum puasa ‘Asyura berubah dari wajib menjadi “sekedar” sunah.

Sejarah puasa Tasu’a

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ» قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam melakukan puasa ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa ‘Asyura, maka para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, ia adalah hari yang diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani.”
Maka beliau bersabda, “Jika begitu, pada tahun mendatang kita juga akan berpuasa pada hari kesembilan, insya Allah.”
Ternyata tahun berikutnya belum datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam telah wafat.” (HR. Muslim no. 1134)

Keutamaan puasa Tasu’a dan ‘Asyura

  1. Wujud syukur kepada Allah yang telah menyelamatkan hamba-hamba-Nya yang beriman dari kejahatan orang-orang kafir, yaitu selamatnya Nabi Musa dan Harun ‘alaihimas salam bersama Bani Israil dari kejahatan Fir’aun dan bala tentaranya. Hadits yang menyebutkan hal ini telah disebutkan di atas.
  2. Meneladani nabi Musa, Harun dan Muhammad ‘alaihimus shalatu was salam, yang berpuasa pada hari ‘Asyura. Hadits yang menyebutkan hal ini telah disebutkan di atas.
  3. Meneladani para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang melakukan puasa ‘Asyura, bahkan melatih anak-anak mereka untuk melakukan puasa ‘Asyura. Hadits yang menyebutkan hal ini telah disebutkan di atas.
  4. Menghapuskan dosa-dosa kecil selama setahun sebelumnya, selama kesyirikan dan dosa-dosa besar dijauhi.
Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwasanya:
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ؟ فَقَالَ: «يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura, maka beliau bersabda: “Ia dapat menghapuskan dosa-dosa kecil setahun yang lalu.”(HR. Muslim no. 1162)

Tingkatan puasa Tasu’a dan ‘Asyura

Para ulama menjelaskan ada tiga tingkatan terkait puasa Tasu’a dan ‘Asyura:
  1. Puasa satu hari saja yaitu pada hari ‘Asyura. Hadits-haditsnya telah disebutkan di atas.
  2. Puasa dua hari, yaitu hari Tasu’a dan hari ‘Asyura. Hadits-haditsnya telah disebutkan di atas.
  3. Puasa tiga hari, yaitu sehari sebelum ‘Asyura (yaitu hari Tasu’a), hari ‘Asyura dan sehari setelahnya (tanggal 11 Muharram). Pendapat disunahkan puasa sehari setelah ‘Asyura ini didasarkan kepada sebuah riwayat dari Ibnu Abbas. Hanya saja ia bukan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, melainkan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan sanadnya lemah.
Meski demikian ia bisa dibolehkan berdasarkan keumuman hadits-hadits yang menganjurkan puasa tiga hari setiap bulan. Misalnya hadits,
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلَاثٍ: ” صَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَصَلَاةِ الضُّحَى، وَلَا أَنَامُ إِلَّا عَلَى وِتْرٍ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata; “Kekasihkau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam) berwasiat kepadaku dengan tiga hal; puasa tiga hari setiap bulan, shalat dhuha dan tidak tidur kecuali setelah melakukan shalat witir.” (HR. Abu Daud no. 1432, Ahmad no. 7512, Abu Ya’la no. 2619, Abdur Razzaq no. 2849 dan Ibnu Khuzaimah no. 1222, hadits shahih)
- See more at: http://www.arrahmah.com/read/2012/11/22/24939-keutamaan-puasa-tanggal-9-dan-10-muharram.html#sthash.YKILecL4.dpuf

Senin, 02 Februari 2015

4 Tahapan Menguasai Bahasa Arab

4 Tahapan Menguasai Bahasa Arab


Mempelajari bahasa arab sangat penting bagi ummat Islam, karena kitab suci Ummat Islam berbahasa arab, dan karya-karya besar Ulama Islam kebanyakannya juga berbahasa arab. Disini kami ingin mencatat 4 tahapan yang harus diikuti oleh pelajar yang ingin menguasai bahasa arab. dan ini berdasarkan pengalaman kami dalam belajar dan mengajar bahasa arab di dayah dan balai pengajian. semoga bermanfaat.

Tahap I: Hafal Mufradat
Belilah kamus arab-indonesia, kemudian catat kosakata yang mungkin anda ucapkan dalam keseharian anda, contoh Nafizah (jendela), bab (pintu) dan sebagainya, kemudian hafal mufradat itu dengan lancar. kira-kira yang harus anda hafal 100 Mufradat.

Tahap II: Belajar Qaedah
Temuilah orang yang mengerti Qaedah (tata bahasa) Arab, mintalah waktunya untuk mengajarkan anda qaedah-qaedah dasar bahasa arab. tentu saja disini ada beberapa hal yang harus anda hafal lagi. Tapi, karena anda sudah menghafal mufradat, maka anda tidak terlalu bingung lagi saat guru mengajarkan tata bahasa. Orang yang sudah menghafal mufradat sudah bisa mengartikan tulisan bahasa arab meskipun terjemahannya kacau seperti terjemahan Google.

Tahap III: Sering Berkumpul Dengan Pelajar Bahasa Arab
Carilah kesempatan untuk berkumpul dengan pelajar-pelajar bahasa arab disekitar anda. dan anda tidak boleh malu bicara bahasa arab dengan mereka. ucapkan saja meskipun agak lucu. gabungkan aja bahasa arab dengan bahasa indonesia saat berdialog dengan mereka karena anda belum menguasai mufradat sepenuhnya, contoh: tolong Ambil Syib-syib ana (ambil sandal jepit ku)

Tahap IV: Ikuti Pengajian Kitab Bahasa Arab
Pasti banyak guru-guru disekitar anda yang bisa membaca kitab-kitab arab, ajaklah beberapa teman untuk mengikuti pengajian bersama guru tersebut. Dengan mengikuti pengajian kitab-kitab arab, anda akan mengerti sepenuhnya bagaimana tata letak bahasa arab yang benar, karena letak SPO arab berbeda dengan indonesia, misalnya ada ungkapan dalam bahasa indonesia: "si ali membunuh alay". ketika kita robah ke dalam bahasa arab menjadi: "Qatala Ali, alay". coba diperhatikan contoh tersebut, dalam bahasa indonesia kalimatnya didahului oleh Pelaku (si ali), tapi dalam bahasa arab didahului oleh kata kerja (qatala/membunuh).

10 TAHAPAN RASULULLAH DALAM MENDIDIK ANAK

10 TAHAPAN RASULULLAH DALAM MENDIDIK ANAK

Standar
kids reading qur'an
Salah satu amal yang tidak pernah terputus pahalanya sekalipun kita telah meninggalkan dunia ini adalah anak yang shaleh. Doa anak yang shaleh merupakan salah satu doa yang insya Allah pasti terkabul. Karenanya, orangtua harus mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Jika tidak, anak akan tumbuh menjadi seorang yang berkepribadian rusak dan hancur yang pada gilirannya akan merugikan orangtua itu sendiri.
Sesungguhnya memang tidak mudah memikul beban untuk membesarkan anak hingga menjadi pribadi yang kita harapkan dapat meraih sukses dunia dan akhirat. Semua butuh kesabaran, kerja keras, keikhlasan, dan masih banyak lagi. Tanpa bermaksud menyederhanakan, berikut 10 tips yang diaplikasikan oleh orangtua yang disarikan dari tata cara mendidik anak ala Rasulullah Saw.
1. Menanamkan Nilai-nilai Ketauhidan
Mengajarkan tauhid kepada anak, mengesakan Allah dalam hal beribadah kepada-Nya, menjadikannya lebih mencintai Allah daripada selain-Nya, tidak ada yang ditakutinya kecuali Allah. Selain itu, orangtua harus menekankan bahwa setiap langkah manusia selalu dalam pengawasan Allah Swt. dan penerapan konsep tersebut adalah dengan berusaha menaati peraturan dan menjauhi larangan-Nya. Terlebih dahulu, orangtua selaku guru (pertama) bagi anak-anaknya harus mampu menyesuaikan tingkah lakunya dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam. Ini adalah pendidikan yang paling urgen di atas hal-hal penting lainnya.
2. Menjadi Sahabat dan Mendidik dengan Keteladanan
Setiap anak akan belajar dari lingkungannya dan dalam hal ini lingkungan keluarga akan sangat berpengaruh pada perkembangan kepribadiannya. Orang-orang di sekelilingnya akan menjadi model dan contoh dalam bersikap. Sudah selayaknyalah orangtua memberi keteladanan kepada anak-anaknya. Para orangtua sebaiknya memberikan contoh yang baik sesuai dengan nasihat dan ucapannya kepada para anaknya. Akan sangat lucu jika yang disampaikan orangtua kepada anak-anaknya ternyata tidak dilakukan oleh orangtua itu sendiri. Dalam Islam, keteladanan dari orangtua sangat menentukan terlebih di zaman sekarang media tontonan tidak dapat diharapkan menjadi contoh yang baik bagi pembentukan akhlak anak-anak muslim.
3. Mendidik dengan Kebiasaan
Suatu kebaikan harus dimulai dengan pembiasaan. Anak harus dibiasakan bangun pagi agar mereka gemar melaksanakan shalat Subuh. Anak harus dibiasakan ke masjid agar mereka gemar melakukan berbagai ritual ibadah di masjid. Pembiasaan itu harus dimulai sejak dini, bahkan pembiasaan membaca Al-Quran pun bisa dimulai sejak dalam kandungan. Pembiasaan shalat pada anak harus sudah dimulai sejak anak berumur tujuh tahun.
4. Menumbuhkan Rasa Percaya Diri Anak
Sebagai upaya menumbuhkan rasa percaya diri anak, Rasulullah Saw. menggunakan beberapa cara berikut. Saat sedang berpuasa, Rasulullah mengajak anak-anak bermain sehingga siang yang panjang terasa cepat. Anak-anak akan menyongsong waktu berbuka dengan gembira. Hal ini juga membuat anak memiliki kepercayaan diri sehingga sanggup berpuasa sehari penuh. Sering membawa anak-anak ke majelis orang dewasa, resepsi, atau bersilaturahim ke rumah saudara sebagai upaya menumbuhkan kepercayaan diri sosialnya. Mengajari Al-Quran dan As-Sunnah serta menceritakan sirah nabi untuk meningkatkan kepercayaan diri ilmiahnya. Menanamkan kebiasaan berjual-beli untuk meningkatkan kepercayaan diri anak terkait ekonomi dan bisnis. Di samping itu, sejak dini anak akan terlatih mandiri secara ekonomi.
5. Memotivasinya Anak Berbuat Baik
Seorang anak, meski kecil, juga terdiri dari jasad dan hati. Mereka dilahirkan dalam keadaan bersih dan suci sehingga hatinya yang putih dan lembut itu pun akan mudah tersentuh dengan kata-kata yang hikmah. Anak-anak, terutama pada usia emas (golden age), cenderung lebih mudah tersentuh oleh motivasi ketimbang ancaman. Karenanya, hendaknya orangtua tidak mengandalkan ancaman untuk mendidik buah hati. Ketimbang mengancam, lebih baik orangtua memotivasi anak dengan mengatakan bahwa kebaikan akan mendapat balasan surga dengan segala kenikmatannya. Itu pulalah yang dicontohkan oleh Rasulullah kepada kita ketika beliau mendidik para sahabat.
6. Sediakan Waktu untuk Makan Bersama Anak
Rasulullah Saw. senantiasa menyempatkan untuk makan bersama anak-anak. Cara tersebut akan mempererat keterikatan batin antara orangtua dan anaknya. Dengan begitu kita dapat meluruskan kembali berbagai kekeliruan yang mereka lakukan melalui dialog terbuka dan diskusi. Alangkah baiknya jika ibu dan bapak berkumpul dengan anak-anak ketika makan bersama sehingga mereka merasakan pentingnya peran kedua orangtuanya. Hal ini juga dapat mempermudah meresapnya segala nasihat tentang perilaku, keimanan, atau pendidikan.
7. Mendidik dengan Reward/Hadiah
Memberi hadiah adalah salah satu penghargaan yang dapat melunakkan hati anak sehingga mereka akan bersimpati kepada kita dan akhirnya mau melaksanakan nasihat yang kita berikan. Namun perlu diingat, tidak semua perbuatan baik anak harus dihargai dengan materi. Lakukan reward yang bervariasi, bisa dengan pujian, ciuman, belaian, uang, dan lain-lain.
8. Memilih Sekolah yang Islami
Saat anak menginjak usia sekolah, orangtua berperan dalam memilihkan sekolah, mengajarkan Al-Quran, mengembangkan pola pikir anak, memberikan data dan ilmu semaksimal mungkin. Meski anak sudah mulai sekolah (mendapatkan ilmu di sekolah), orangtua hendaklah selalu belajar tentang pendidikan anak karena semakin bertambah usia anak, maka akan semakin kompleks pula problem (pendidikan anak) yang harus kita hadapi.
9. Mendidik dengan Hukuman
Cara ini boleh dilakukan jika cara-cara di atas tidak berhasil. Memang di dalam Islam, menghukum diperbolehkan selama tidak berlebihan seperti sampai menyebabkan luka. Hukuman tersebut usahakan menimbulkan efek jera kepada anak agar ia tidak mengulangi perbuatannya. Akan tetapi harus diperhatikan adab-adabnya, jangan sampai berlebihan yang akhirnya akan membuat anak menjadi dendam.
10. Memahami Keadaan Anak Secara Baik dan Menggunakan Metode yang Tepat
Setiap anak memiliki karakter dan pribadi yang berbeda walaupun berasal dari orangtua yang sama. Cari metode yang tepat dan jitu sehingga anak dapat diarahkan dengan lebih mudah.

Sabtu, 17 Januari 2015

Urgensi Bahasa Arab Dalam Memahami Agama

Urgensi Bahasa Arab Dalam Memahami Agama

Urgensi Bahasa Arab Dalam Memahami Agama

Al-hamdulillahi Robbil ‘Aalamiin wash sholaatu was salaamu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa Aalihi wa Ashhaabihi wa man tabi’ahum bi ihsaan ilaa yaumil qiyaamah.
Ammaa ba’du: Sesungguhnya bahasa arab adalah bahasa yang dipilih Alloh untuk agama ini, dan tidak ada keraguan bagi seorang pun bahwasanya bahasa arab beserta ilmu-ilmunya di dalam ilmu-ilmu Islam adalah menempati kedudukan lisan dari anggota badan manusia, dan tidak terlalu berlebihan kalau kita katakan: bahkan seperti kedudukan hati di dalam jasad. Ini disebabkan karena bahasa arab adalah bahasa agama Islam yang paling tinggi, dengannya diturunkan Al-Qur’an sebagaimana Firman Alloh Ta’ala:
Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa arab supaya kamu memahami(nya). {Az-Zukhruf : 3}.
Berkata Ibnu Katsir rohimahulloh Ta’ala: Karena sesungguhnya bahasa arab adalah sefasih-fasih bahasa, sejelas-jelas bahasa, bahasa yang sangat luas dan paling lengkap, serta bahasa yang paling banyak menyampaikan kepada makna-makna yang diterima oleh jiwa, maka oleh karena inilah diturunkan kitab–kitab yang paling mulia dengan bahasa-bahasa yang paling mulia………sampai akhir ucapan beliau rohimahulloh.
Berkata syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh di dalam kitabnyaIqtidho Ash-shiroothol Mustaqiim hal. 162: Sesungguhnya Alloh tatkala menurunkan kitab-Nya dengan lisan orang-orang Arab, dan menjadikan Rosul-Nya sebagai muballigh dari-Nya yang menyampaikan Al-Qur’an dan Al-Hikmah dengan lisannya orang Arab, serta menjadikan As-Saabiquun (para sahabat Nabi) berbicara dengan lisan orang Arab, maka tidak ada jalan untuk memelihara agama ini dan mempelajarinya kecuali dengan memelihara lisan orang Arab ini. Sehingga mempelajarinya merupakan bagaian dari agama, dan menyampaikan kepada penegakan syiar-syiar agama.
Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman ketika mensifatkan kitab-Nya:
(Ialah) Al Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa. {Az-Zumar : 28}.
Maka Alloh mensifatkannya dengan sifat lurus, sebagaimana Dia mensifatkannya dengan sifat jelas di dalam Firman-Nya:
Dengan bahasa arab yang jelas. {Asy-Syu’aroo : 195}.
Dan sebagaimana pula Alloh mensifatkannya dengan adil pada Firman-Nya:
Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu sebagai peraturan (yang adil) dalam bahasa Arab. {Ar-Ro’d : 37}.
Kata Abu Ishaq Az-Zajaji: aku mendengar Abul Abbas berkata: sebahagian salaf berkata: “Wajib atas kalian untuk belajar bahasa arab; karena merupakan kemuliaan yang nyata, yaitu Kalamulloh ‘Azza wa Jalla dan kalam para Nabi-Nya juga kalam para Malaikat-Nya”…….sampai akhir ucapan beliau rohimahulloh.
Maka nahwu memiliki suatu urgensi; karena bahwasanya seluruh ilmu membutuhkannya, dan sepantasnyalah bagi penuntut ilmu untuk mempelajari kaidah-kaidah bahasa Arab, dan agar menjauhkan diri dari lahn (kesalahan di dalam pengucapan/berbahasa yang dapat merubah makna).
Dan bangsa Arab menjauhkan dirinya dari terjerumus ke dalam lahn,mereka mewajibkan untuk mempelajari bahasa arab. Ibnu ‘Abdil Barr rohimahulloh membuat satu bab pada permulaan kitabnya “Bahjatul Majaalis wa Unsul Mujaalis” tentang menjauhi lahn dan mempelajari bahasa arab, serta mencela sesuatu yang asing di dalam berbahasa. Beliau membawakan atsar-atsar dan syair-syair seputar permasalahan ini, dan memulainya dengan perkataan ‘Umar rodhiyallohu ‘anhu ketika beliau menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari rodhiyallohu ‘anhu: Ammaa ba’’du, perdalamilah oleh kalian sunnah dan pelajarilah bahasa arab, dan bacalah Al-Qur’an dengan bacaan orang Arab karena sesungguhnya Al-Qur’an dengan bahasa bangsa Arab.
Dan masih kata beliau rodhiyallohu ‘anhu: “Pelajarilah oleh kalian bahasa arab; karena sesungguhnya ini merupakan bagian agama kalian, dan pelajarilah oleh kalian faroid (ilmu tentang waris); karena sesungguhnya ini merupakan bagian agama kalian.
          Kata ‘Abdulloh bin Al-Mubarik: Lahn (kesalahan pengucapan) lebih buruk daripada bekas penyakit cacar pada wajah.
Dan kata Syu’bah: Permisalan orang yang belajar hadits tapi tidak belajar nahwu seperti kopiah, tidak ada kepalanya.
Dan kata Al-Ashma’i rohimahulloh: Sesungguhnya yang paling aku takuti atas penuntut ilmu –jika ia tidak tahu nahwu- akan masuk ke dalam keumuman sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka bersiap-siaplah ia menempati tempat duduknya di neraka”[1].
Dan kata Ibnu Jinni[2]Sesungguhnya kebanyakan mereka yang tersesat dari kalangan ahli syari’at adalah karena niat mereka, dan menyimpang dari metode yang paling utama karena mengikuti hawa nafsunya, dan kurangnya adab kesantunan, serta lemahnya dalam bahasa yang mulia ini yang seluruh syari’at ini diucapkan dengannya. (selesai).
Berkata Asy-Syaafi’i rohimahulloh: “Barangsiapa mendalam ilmu nahwunya maka ia akan mendapat petunjuk kepada setiap ilmu[3].
          Dan kata beliau juga rohimahulloh: “Tidaklah aku ditanya tentang suatu masalah dari masalah-masalah fiqih kecuali aku menjawabnya dengan kaidah-kaidah nahwu[4].
Dan masih kata beliau juga rohimahulloh: “Tidaklah aku menghendaki dengannya –yakni bahasa arab- melainkan untuk menolong bagi fiqih[5].
Demikian pentingnya bahasa arab dan ilmu-ilmunya, sehingga Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rohimahullohu Ta’ala di dalam muqoddimah kitabnya “At-Ta’liiqoot Al-Jaliyyah ‘Alaa Syarhil Muqoddimah Al-Ajruumiyyah” setelah menyebutkan basmalah dan hamdalah serta mengucapkan sholawat dan salam kepada Rosululloh, keluarganya dan para sahabatnya, beliau mengatakan: Ammaa ba’du, maka sesungguhnya ilmu nahwu adalah ilmu yang mulia, ilmu wasilah, yang menjadi wasilah (perantara) kepada dua perkara yang penting:
          Perkara yang pertama: Memahami kitabulloh dan sunnah Rosul-Nya shollallohu ‘alaihi wa sallam; karena sesungguhnya pemahaman yang banyak dari keduanya berdiri di atas pengetahuan nahwu.
          Yang kedua: Meluruskan lisan atas bahasa orang Arab yang Kalamulloh turun dengan bahasa ini.
Oleh karena itu, maka mengerti nahwu merupakan suatu perkara yang penting sekali, akan tetapi nahwu pada awalnya sulit dan di akhirnya mudah, dimisalkan seperti rumah yang terbuat dari bambu dan pintunya dari besi, maksudnya sulit sekali untuk memasukinya tapi jika kamu sudah memasukinya maka akan menjadi mudahlah bagimu segala sesuatunya. Oleh karena ini, seyogyanyalah bagi seseorang untuk bersemangat mempelajari permulaannya sehingga akan menjadi mudah baginya yang tersisa lainnya.
Tidak ada ‘ibroh dengan ucapan seseorang yang berkata:Sesungguhnya nahwu itu sulit. Sehingga orang yang mempelajarinya merasa seakan-akan ia tidak mungkin menguasai ilmu nahwu ini, maka sesungguhnya ini tidaklah benar. Pusatkan konsentrasi di permulaan mempelajarinya hingga akan mudah bagimu akhirnya.
Sebahagian orang berkata: Nahwu itu susah dan jenjangnya lama. Tapi kita tidak bersikap seperti ini bahkan kita mengatakan: nahwu itu mudah, tangganya pendek dan jenjangnya sebentar, tetapi pahamilah olehmu dari awalnya.
Definisi nahwu secara bahasa (etimologi): Al-Jihah (arah), kamu mengatakan dzahabtu nahwa fulaanin artinya jihatuhu (ke arahnya). Dan diantaranya Asy-Syibhu (menyerupai) dan Al-Mitslu (misal), kamu mengatakan Muhammad nahwu ‘Aliyyin artinya syibhuhu (menyerupainya) dan mitsluhu (semisalnya).
Definisi nahwu secara ishthilah (terminologi): Ilmu tentang kaidah-kaidah yang diketahui dengannya hukum-hukum akhir suatu kata bahasa arab pada susunan kalimatnya: berupa i’rob (perubahan bunyi akhir suatu kata) dan bina’ (tetapnya bunyi akhir suatu kata) serta apa-apa yang mengikuti hal tersebut.
Penyusunnya: Orang yang pertama kali menyusun ilmu nahwu berdasarkan riwayat yang masyhur adalah Abul Aswad Ad-Duali berdasarkan perintah Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu ‘anhu.

Disusun oleh: Djeni Abu Abdirrahman.
Sumber pustaka:
1-    At-Ta’liiqootul Jaliyyah ‘Alaa Syarhil Muqoddimah Al-Ajruumiyyah, oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rohimahullohu Ta’ala.
2-    At-Tuhfatus Saniyyah Bisyarhil Muqoddimah Al-Ajruumiyyah, oleh Muhammad Muhyiiddiin bin ‘Abdul Hamid.