Kita hanya bisa memanjatkan puji syukur kepada Allah atas nikmat yang
tak terhingga ini. Allah Yang Maha Memberi Nikmat telah memberikan
kesempatan untuk merasakan sejuknya beribadah puasa. Sungguh suatu
kebanggaan, kita bisa melaksanakan ibadah yang mulia ini. Janji yang
pasti diperoleh oleh orang yang berpuasa jika dia menjalankan puasa
dengan dasar iman kepada Allah dan mengharapkan ganjarannya telah
disebutkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap
pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760)
Sungguh sangat menyayangkan sekali orang yang meninggalkan amalan
yang mulia ini. Begitu sering kami melihat orang yang mengaku muslim
namun di siang hari bulan Ramadhan dia makan terang-terangan atau dia
mengganggu saudaranya dengan asap rokok. Sungguh sangat merugi sekali
orang yang meninggalkan ibadah ini, padahal amalan ini adalah bagian
dari rukun Islam yang dapat menegakkan bangunan Islam dan para ulama
sepakat tentang wajibnya melaksanakan rukun Islam yang satu ini.
Setelah kita melalui bulan Ramadhan, tentu saja kita masih perlu
untuk beramal sebagai bekal kita nanti sebelum dijemput oleh malaikat
maut. Pada tulisan kali ini, kami akan sedikit mengulas mengenai
beberapa amalan yang sebaiknya dilakukan seorang muslim setelah
menunaikan puasa Ramadhan. Semoga kita mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Tetap Menjaga Shalat Lima Waktu dan Shalat Jama’ah
Bulan Ramadhan sungguh sangat berbeda dengan bulan-bulan lainnya.
Orang yang dulu malas ke masjid atau sering bolong mengerjakan shalat
lima waktu, di bulan Ramadhan begitu terlihat bersemangat melaksanakan
amalan shalat ini. Itulah di antara tanda dibukanya pintu surga dan
ditutupnya pintu neraka ketika itu. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ
“Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Muslim no. 1079)
Namun, amalan shalat ini hendaklah tidak ditinggalkan begitu saja.
Kalau memang di bulan Ramadhan, kita rutin menjaga shalat lima waktu
maka hendaklah amalan tersebut tetap dijaga di luar Ramadhan, begitu
pula dengan shalat jama’ah di masjid khusus untuk kaum pria.
Lihatlah salah satu keutamaan orang yang menjaga shalat lima waktu berikut. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
افْتَرَضْتُ عَلَى أُمَّتِكَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ وَعَهِدْتُ عِنْدِى عَهْدًا
أَنَّهُ مَنْ حَافَظَ عَلَيْهِنَّ لِوَقْتِهِنَّ أَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ
وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهِنَّ فَلاَ عَهْدَ لَهُ عِنْدِى
“Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Aku wajibkan bagi umatmu shalat
lima waktu. Aku berjanji pada diriku bahwa barangsiapa yang menjaganya
pada waktunya, Aku akan memasukkannya ke dalam surga. Adapun orang
yang tidak menjaganya, maka aku tidak memiliki janji padanya’.” (HR. Sunan Ibnu Majah no. 1403. Syaikh Al Albani dalam
Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Shalat jama’ah di masjid juga memiliki keutamaan yang sangat mulia dibanding shalat sendirian. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةُ الْجَمَاعَة أفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat jama’ah lebih utama dari shalat sendirian sebanyak 27 derajat.” (HR. Bukhari no. 645 dan Muslim no. 650)
Namun yang sangat kami sayangkan, amalan shalat ini sering dilalaikan
oleh sebagian kaum muslimin. Bahkan mulai pada hari raya ‘ied (1
Syawal) saja, sebagian orang sudah mulai meninggalkan shalat karena
sibuk silaturahmi atau berekreasi. Begitu juga seringkali kita lihat
sebagian saudara kita karena kebiasaan bangun kesiangan, dia
meninggalkan shalat shubuh begitu saja. Padahal shalat shubuh inilah
yang paling berat dikerjakan oleh orang munafik sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيْسَ صَلاَةٌ أَثْقَلَ عَلَى
الْمُنَافِقِينَ مِنَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا
فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Tidak ada
shalat yang paling berat dilakukan oleh orang munafik kecuali shalat
Shubuh dan shalat Isya’. Seandainya mereka mengetahui keutamaan
keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun sambil merangkak.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)
Saudaraku, ingatlah ada ancaman keras dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang meninggalkan shalat. Dari Tsauban
radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pemisah antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan
adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia telah melakukan
kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat
Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566)
Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat
Misykatul Mashobih no. 574)
Begitu pula shalat jama’ah di masjid, seharusnya setiap muslim
–khususnya kaum pria- menjaga amalan ini. Shalat jama’ah mungkin
kelihatan ramai di bulan Ramadhan saja. Namun, ketika bulan Ramadhan
berakhir, masjid sudah kelihatan sepi seperti sedia kala. Memang dalam
masalah apakah shalat jama’ah itu wajib atau sunnah mu’akkad terjadi
perselisihan di antara para ulama. Namun berdasarkan dalil yang kuat,
shalat jama’ah hukumnya adalah wajib (fardhu ‘ain). Di antara dalil yang
menunjukkan hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah di mana beliau
radhiyallahu ‘anhu berkata,
أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-
رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِى قَائِدٌ
يَقُودُنِى إِلَى الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّىَ فِى بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ
فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ « هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ
». فَقَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَأَجِبْ ».
“Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak
memiliki orang yang menuntunku ke masjid’. Kemudian pria ini meminta
pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diberi keringanan
untuk shalat di rumah. Pada mulanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberi dia keringanan. Namun, tatkala dia mau berpaling, beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil pria tersebut dan berkata,
‘Apakah engkau mendengar adzan ketika shalat?’ Pria buta tersebut
menjawab, ‘Iya.’ Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Penuhilah panggilan tersebut’.” (HR. Muslim no. 653)
Lihatlah pria buta ini memiliki udzur (alasan) untuk tidak jama’ah di masjid, namun Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak memberikannya keringanan, dia tetap diwajibkan untuk shalat
jama’ah di masjid. Padahal dia adalah pria yang buta, tidak ada penuntun
yang menemaninya, rumahnya juga jauh. Di Madinah juga banyak hewan
buas dan banyak pepohonan yang menghalangi jalan menuju masjid. Namun,
lihatlah walaupun dengan berbagai udzur ini karena pria buta ini
mendengar adzan, dia tetap wajib jama’ah di masjid.
Bagaimanakah kondisi kita yang lebih sehat dan berkemampuan? Tentu
lebih wajib lagi untuk berjama’ah di masjid. Itulah dalil kuat yang
menunjukkan wajibnya shalat jama’ah di masjid. Jika seseorang
meninggalkan shalat jama’ah dan shalat sendirian, dia berarti telah
berdosa karena meninggalkan shalat jama’ah, namun shalat sendirian yang
dia lakukan tetap sah. Sedangkan bagi wanita berdasarkan kesepakatan
kaum muslimin tidak wajib bagi mereka jama’ah di masjid bahkan lebih
utama bagi wanita untuk mengerjakan shalat lima waktu di rumahnya.
Memperbanyak Puasa Sunnah
Selain kita melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan, hendaklah kita
menyempurnakannya pula dengan melakukan amalan puasa sunnah. Di antara
keutamaannya adalah disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berikut,
أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ الصَّوْمُ جُنَّةٌ
“Maukah kutunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi no. 2616. Syaikh Al Albani mengatakan dalam
Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud bahwa hadits ini shohih)
Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di
dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari
perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai
dari api neraka. Keutamaan lain dari puasa sunnah terdapat dalam hadits
Qudsi berikut.
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ
إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ
سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ،
وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ،
وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan
amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah
mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia
gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia
gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan
untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk
berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya
dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506)
Itulah di antara keutamaan seseorang melakukan amalan sunnah. Dia
akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada
pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan
memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya do’a. (Faedah
dari
Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad, www.islamspirit.com)
Banyak puasa sunnah yang dapat dilakukan oleh seorang muslim setelah
Ramadhan. Di bulan Syawal, kita dapat menunaikan puasa enam hari
Syawal. Juga setiap bulan Hijriyah kita dapat berpuasa tiga hari dan
lebih utama jika dilakukan pada ayyamul bid yaitu pada tanggal 13, 14,
dan 15. Kita juga dapat melakukan puasa Senin-Kamis, puasa Arofah (pada
tanggal 9 Dzulhijah), puasa Asyura (pada tanggal 10 Muharram), dan
banyak berpuasa di bulan Sya’ban sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan jika ada yang punya
kemampuan boleh juga melakukan puasa Daud yaitu sehari berpuasa dan
sehari tidak. Semoga Allah memudahkan kita melakukan amalan puasa
sunnah ini.
Berpuasa Enam Hari di Bulan Syawal
Hendaklah di bulan Syawal ini, setiap muslim berusaha untuk
menunaikan amalan yang satu ini yaitu berpuasa enam hari di bulan
Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini
dapat dilihat dari sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
Pada hadits ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam
hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab
Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka. (Lihat
Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56)
Bagaimana cara melakukan puasa ini? An Nawawi dalam
Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan
puasa syawal
secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun jika
tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang
tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan
puasa Ramadhan.”
Apa faedah melakukan puasa enam hari di bulan Syawal?
Ibnu Rojab
rahimahullah menyebutkan beberapa faedah di antaranya:
- Berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan akan menyempurnakan ganjaran berpuasa setahun penuh.
- Puasa Syawal dan puasa Sya’ban seperti halnya shalat rawatib
qobliyah dan ba’diyah. Amalan sunnah seperti ini akan menyempurnakan
kekurangan dan cacat yang ada dalam amalan wajib. Setiap orang pasti
memiliki kekurangan dalam amalan wajib. Amalan sunnah inilah yang nanti
akan menyempurnakannya.
- Membiasakan berpuasa setelah puasa Ramadhan adalah tanda diterimanya
amalan puasa Ramadhan. Karena Allah Ta’ala jika menerima amalan hamba,
maka Dia akan memberi taufik pada amalan sholih selanjutnya.
Sebagaimana sebagian salaf mengatakan, “Balasan dari amalan kebaikan
adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan
lalu dia melanjutkan dengan kebaikan selanjutnya, maka itu adalah tanda
diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula orang yang melaksanakan
kebaikan lalu dilanjutkan dengan melakukan kejelekan, maka ini adalah
tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah
dilakukan.”
- Karena Allah telah memberi taufik dan menolong kita untuk
melaksanakan puasa Ramadhan serta berjanji mengampuni dosa kita yang
telah lalu, maka hendaklah kita mensyukuri hal ini dengan melaksanakan
puasa setelah Ramadhan. Sebagaimana para salaf dahulu, setelah malam
harinya melaksanakan shalat malam, di siang harinya mereka berpuasa
sebagai rasa syukur pada Allah atas taufik yang diberikan. (Disarikan
dari Latho’if Al Ma’arif, 244, Asy Syamilah)
Sungguh sangat beruntung sekali jika kita dapat melaksanakan puasa
enam hari di bulan Syawal. Ini sungguh keutamaan yang luar biasa,
saudaraku. Marilah kita melaksanakan puasa tersebut demi mengharapkan
rahmat dan ampunan Allah.
Penjelasan penting yang harus diperhatikan: Lebih baik bagi seseorang
yang masih memiliki qodho’ (tanggungan) puasa Ramadhan untuk
menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara
yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah.
Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Barangsiapa berpuasa ramadhan”.
Jadi apabila puasa ramadhannya belum sempurna karena masih ada
tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih
dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.
Apabila
seseorang menunaikan puasa syawal terlebih dahulu dan masih ada
tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa
sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa syawal karena kita
kembali ke perkataan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi,
“Barangsiapa berpuasa ramadhan.” (Lihat
Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)
Menjaga Shalat Malam
Inilah penyakit yang diderita oleh kaum muslimin setelah Ramadhan.
Ketika Ramadhan masjid terlihat penuh pada saat qiyamul lail (shalat
tarawih). Namun coba kita saksikan setelah Ramadhan, amalan shalat malam
ini seakan-akan hilang begitu saja. Orang-orang lebih senang tidur
nyenyak di malam hari hingga shubuh atau pagi tiba, dibanding bangun
untuk mengambil air wudhu dan mengerjakan shalat malam. Seolah-olah
amalan shalat malam ini hanya ada pada bulan Ramadhan saja yaitu ketika
melaksanakan shalat tarawih. Seharusnya jika dia betul-betul
menjalankan ibadah shalat tarawih dengan baik pasti akan membuahkan
kebaikan selanjutnya.
Sebagian salaf mengatakan,
إِ
نَّ مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةَ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ بَعْدَهَا
“Sesungguhnya di antara balasan amalan kebaikan adalah kebaikan
selanjutnya. Dan di antara balasan dari amalan kejelekan adalah
kejelekan selanjutnya.” (Lihat
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir pada tafsir surat Al Lail)
Namun, ibadah
shalat malam
ini mungkin hanya ibadah musiman saja yaitu dilaksanakan hanya di bulan
Ramadhan. Padahal keutamaan shalat malam ini amatlah banyak, di
antaranya:
[1] Shalat malam adalah sebaik-baik shalat setelah shalat wajib. Dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ
رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ
الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan
Allah –Muharram-. Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah
shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)
[2] Orang yang melakukan shalat malam dijamin masuk surga dan selamat dari adzab neraka. Dari Abdullah bin Salam
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَيُّهَا اَلنَّاسُ! أَفْشُوا
اَلسَّلَام, وَصِلُوا اَلْأَرْحَامَ, وَأَطْعِمُوا اَلطَّعَامَ, وَصَلُّوا
بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ, تَدْخُلُوا اَلْجَنَّةَ بِسَلَامٍ
“Wahai manusia! Sebarkanlah salam, jalinlah tali silturahmi
(dengan kerabat), berilah makan (kepada istri dan kepada orang miskin),
shalatlah di waktu malam sedangkan manusia yang lain sedang tidur,
tentu kalian akan masuk ke dalam surga dengan penuh keselamatan.” (HR. Tirmidzi no. 2485 dan Ibnu Majah no. 1334. Syaikh Al Albani dalam
As Silsilah Ash Shohihah no. 569 mengatakan bahwa hadits ini shohih)
[3] Orang yang melakukan shalat malam akan dicatat sebagai orang yang berdzikir kepada Allah
Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Rasulullah
shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا اسْتَيْقَظَ الرَّجُلُ مِنَ
اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ كُتِبَا مِنَ
الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ
“Apabila seseorang bangun di waktu malam, lalu dia membangunkan
istrinya, kemudian keduanya mengerjakan shalat dua raka’at, maka
keduanya akan dicatat sebagai pria dan wanita yang banyak berdzikir pada
Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 1335. Syaikh Al Albani mengatakan dalam
Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah bahwa hadits ini shohih). Hadits ini menunjukkan bahwa suami istri dianjurkan untuk shalat malam berjama’ah.
[4] Orang yang bangun di malam hari kemudian berwudhu dan melakukan shalat malam, dia akan bersemangat di pagi harinya.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَقِدَ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ
رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ ، يَضْرِبُ كُلَّ
عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ ، فَإِنِ اسْتَيْقَظَ
فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ
عُقْدَةٌ ، فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا
طَيِّبَ النَّفْسِ ، وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ
“Setan membuat tiga ikatan di tengkuk (leher bagian belakang)
salah seorang dari kalian ketika tidur. Di setiap ikatan setan akan
mengatakan, “Malam masih panjang, tidurlah!” Jika dia bangun lalu
berdzikir pada Allah, lepaslah satu ikatan. Kemudian jika dia berwudhu,
lepas lagi satu ikatan. Kemudian jika dia mengerjakan sholat, lepaslah
ikatan terakhir. Di pagi hari dia akan bersemangat dan bergembira. Jika
tidak melakukan seperti ini, dia tidak ceria dan menjadi malas.” (HR. Bukhari no. 1142 dan Muslim no. 776)
Sangat disayangkan sekali, sebagian orang lebih memilih tidur pulas
di malam hari daripada bangun shalat malam. Inilah orang-orang yang
mendapat celaan yaitu akan dikencingi setan sebagaimana disebutkan dalam
hadits berikut ini.
Dari Abu Wa’il, dari Abdullah, beliau berkata, “Ada yang mengatakan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa terdapat seseorang yang tidur malam hingga shubuh (maksudnya tidak bangun malam, pen). Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
«
ذَلِكَ الشَّيْطَانُ بَالَ فِى أُذُنَيْهِ ».
“Demikianlah setan telah mengincingi kedua telinganya.” (HR. An Nasa’i no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1330. Syaikh Al Albani dalam
Shohih At Targib wa At Tarhib no. 640 mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Hendaklah kita merutinkan amalan shalat malam ini di luar ramadhan
sebagaimana kita rajin mengerjakannya di bulan Ramadhan. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang dulu gemar shalat malam, namun sekarang dia meninggalkannya.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash
radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,
«
يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ »
“Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si A. Dulu dia biasa
mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.” (HR. Bukhari no. 1152)
Sebaik-baik orang adalah yang mau mengerjakan shalat malam jika tidak
berhalangan karena kecapekan atau ingin mengulang pelajaran
sebagaimana Abu Hurairah.
نِ
عْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ ، لَوْ كَانَ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik orang adalah Abdullah bin Umar, seandainya dia biasa mengerjakan shalat malam.” (HR. Bukhari no. 1122 dan Muslim no. 2479)
Padahal shalat malam itu mudah dikerjakan, bisa dengan hanya
mengerjakan shalat tahajud 2 raka’at dan ditutup witir 1 raka’at, namun
sebagian orang enggan mengerjakan shalat yang utama ini.
Amalan yang Kontinu (Ajeg), Amalan yang Paling Dicintai
Kalau memang kita gemar melakukan shalat malam atau amalan sunnah
yang lainnya, maka hendaklah amalan-amalan tersebut tetap dijaga. Kalau
biasa mengerjakan shalat malam 3 raka’at dan dilakukan terus menerus
(walaupun jumlah raka’at yang dikerjakan sedikit), maka itu masih
mending daripada tidak shalat malam sama sekali. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اكْلَفُوا مِنَ الْعَمَلِ مَا
تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ
الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ
“Bebanilah diri kalian dengan amal sesuai dengan kemampuan
kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan.
(Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan
yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani dalam
Shohihul Jami’ no. 1228 mengatakan hadits ini shohih)
Ingatlah bahwa rajin ibadah bukanlah hanya di bulan Ramadhan saja.
Ulama salaf pernah ditanya tentang sebagian orang yang rajin beribadah
di bulan Ramadhan, namun jika bulan suci itu berlalu mereka pun
meninggalkan ibadah-ibadah tersebut. Dia pun menjawab,
بِ
ئْسَ القَوْمُ لاَ يَعْرِفُوْنَ اللهَ حَقًّا إِلاَّ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ
“Alangkah buruknya tingkah mereka; mereka tidak mengenal Allah melainkan hanya di bulan Ramadhan!” (Lihat
Latho’if Ma’arif, 244)
Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengingatmu di waktu sempit. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَ
عَرَّفْ إِلَي اللهِ فِى الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِى الشِّدَّةِ
“Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengenalimu ketika susah.” (HR. Hakim. Syaikh Al Albani dalam
Shohih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Bid’ah di Bulan Syawal
Ada beberapa bid’ah yang sebaiknya dijauhi oleh setiap muslim di bulan Syawal:
[1] Beranggapan sial jika menikah pada bulan Syawal
Mungkin bid’ah semacam ini jarang terjadi di tempat kita. Malah
kebanyakan kaum muslimin di negeri ini melaksanakan hajatan nikah ketika
Syawal karena pada saat itu adalah waktu semua kerabat berkumpul
berlebaran.
Namun, inilah bid’ah yang terjadi di masa silam dulu (masa
jahiliyah). Mereka enggan melaksanakan hajatan nikahan ketika bulan
Syawal. Itulah i’tiqod (keyakinan) mereka. Sedangkan di negeri kita,
bukan bulan Syawal yang dianggap sial, tetapi bulan Suro (Muharram).
Kedua anggapan ini adalah anggapan yang salah. Mengenai anggapan sial
nikah di bulan Syawal, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah membantah hal ini. Sebagaimana terdapat riwayat dalam
Sunan Ibnu Majah (haditsnya dishohihkan oleh Syaikh Al Albani) bahwa beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha pada bulan Syawal dan keluarga beliau tetap harmonis.
Menganggap bulan Suro atau bulan Syawal sebagai bulan sial untuk
melaksanakan beberapa hajatan adalah anggapan yang terlarang dalam agama
ini. Beranggapan sial dengan bulan atau waktu sama saja dengan
mencelanya. Dan mencela waktu itu sama saja dengan mencela yang
menciptakan waktu yaitu Allah Ta’ala. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku disakiti oleh anak Adam.
Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang
membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menyatakan bahwa beranggapan sial seperti ini termasuk kesyirikan. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« ا
لطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ». ثَلاَثًا « وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ »
“Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk
kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda), tidak
ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan
anggapan sial tersebut adalah dengan tawakkal (pada Allah).” (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam
Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam
Al Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah)
[2] ‘Idul Abror (‘Ied pada tanggal 8 Syawal)
Ini adalah bid’ah yang terjadi di beberapa daerah di negeri kita. Entah namanya apa, tetapi maksud dari acara tersebut itu sama.
Sebelumnya mereka melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Lalu mereka
berbuka (tidak berpuasa) pada tanggal 1 Syawal. Setelah itu –mulai
tanggal 2 Syawal-, mereka melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal.
Lalu pada hari kedelepan dari bulan Syawal, mereka merayakan ‘ied (yang
di kalangan Arab dikenal dengan ‘Idul Abror).
Abror di sini bermakna orang baik lawan dari orang fajir yang gemar
berbuat maksiat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah perayaan ied
semacam ini dengan mengatakan,
“Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang
disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan
pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebutkan dengan
malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8
Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal
-yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan Idul Abror-;
ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat
yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah
melaksanakannya.” (
Majmu’ Fatawa, 25/298)
Beliau
rahimahullah juga mengatakan, “Adapun perayaan hari
ke-8 Syawal, maka itu bukanlah ‘ied (yang disyari’atkan). Ini bukanlah
‘ied bagi abror (orang sholih/baik) atau pun orang fajir (yang gemar
bermaksiat). Tidak boleh bagi seorang pun meyakini perayaan ini sebagai
‘ied. Janganlah membuat ‘ied yang baru selain ‘ied yang sudah ada dalam
agama ini (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha).” (
Al Ikhtiyarot Al Fiqhiyyah, 199)
Demikian pembahasan seputar amalan yang sebaiknya dilakukan setelah
Ramadhan dan perkara yang sebaiknya dijauhi oleh setiap muslim. Semoga
kita termasuk orang yang selalu mendapat taufik Allah dan dimudahkan
untuk istiqomah dalam agama ini.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu
memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan
amalan kita diterima di sisi-Nya.
Innahu sami’un qoriibum mujibud
da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Selesai disusun di Panggang, Gunung Kidul
Menjelang waktu zawal, 4 Syawal 1429 H (bertepatan dengan 4 Oktober 2008)
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
(muslim.or.id)