“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf: 2).

Sabtu, 17 Januari 2015

Urgensi Bahasa Arab Dalam Memahami Agama

Urgensi Bahasa Arab Dalam Memahami Agama

Urgensi Bahasa Arab Dalam Memahami Agama

Al-hamdulillahi Robbil ‘Aalamiin wash sholaatu was salaamu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa Aalihi wa Ashhaabihi wa man tabi’ahum bi ihsaan ilaa yaumil qiyaamah.
Ammaa ba’du: Sesungguhnya bahasa arab adalah bahasa yang dipilih Alloh untuk agama ini, dan tidak ada keraguan bagi seorang pun bahwasanya bahasa arab beserta ilmu-ilmunya di dalam ilmu-ilmu Islam adalah menempati kedudukan lisan dari anggota badan manusia, dan tidak terlalu berlebihan kalau kita katakan: bahkan seperti kedudukan hati di dalam jasad. Ini disebabkan karena bahasa arab adalah bahasa agama Islam yang paling tinggi, dengannya diturunkan Al-Qur’an sebagaimana Firman Alloh Ta’ala:
Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa arab supaya kamu memahami(nya). {Az-Zukhruf : 3}.
Berkata Ibnu Katsir rohimahulloh Ta’ala: Karena sesungguhnya bahasa arab adalah sefasih-fasih bahasa, sejelas-jelas bahasa, bahasa yang sangat luas dan paling lengkap, serta bahasa yang paling banyak menyampaikan kepada makna-makna yang diterima oleh jiwa, maka oleh karena inilah diturunkan kitab–kitab yang paling mulia dengan bahasa-bahasa yang paling mulia………sampai akhir ucapan beliau rohimahulloh.
Berkata syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh di dalam kitabnyaIqtidho Ash-shiroothol Mustaqiim hal. 162: Sesungguhnya Alloh tatkala menurunkan kitab-Nya dengan lisan orang-orang Arab, dan menjadikan Rosul-Nya sebagai muballigh dari-Nya yang menyampaikan Al-Qur’an dan Al-Hikmah dengan lisannya orang Arab, serta menjadikan As-Saabiquun (para sahabat Nabi) berbicara dengan lisan orang Arab, maka tidak ada jalan untuk memelihara agama ini dan mempelajarinya kecuali dengan memelihara lisan orang Arab ini. Sehingga mempelajarinya merupakan bagaian dari agama, dan menyampaikan kepada penegakan syiar-syiar agama.
Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman ketika mensifatkan kitab-Nya:
(Ialah) Al Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa. {Az-Zumar : 28}.
Maka Alloh mensifatkannya dengan sifat lurus, sebagaimana Dia mensifatkannya dengan sifat jelas di dalam Firman-Nya:
Dengan bahasa arab yang jelas. {Asy-Syu’aroo : 195}.
Dan sebagaimana pula Alloh mensifatkannya dengan adil pada Firman-Nya:
Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu sebagai peraturan (yang adil) dalam bahasa Arab. {Ar-Ro’d : 37}.
Kata Abu Ishaq Az-Zajaji: aku mendengar Abul Abbas berkata: sebahagian salaf berkata: “Wajib atas kalian untuk belajar bahasa arab; karena merupakan kemuliaan yang nyata, yaitu Kalamulloh ‘Azza wa Jalla dan kalam para Nabi-Nya juga kalam para Malaikat-Nya”…….sampai akhir ucapan beliau rohimahulloh.
Maka nahwu memiliki suatu urgensi; karena bahwasanya seluruh ilmu membutuhkannya, dan sepantasnyalah bagi penuntut ilmu untuk mempelajari kaidah-kaidah bahasa Arab, dan agar menjauhkan diri dari lahn (kesalahan di dalam pengucapan/berbahasa yang dapat merubah makna).
Dan bangsa Arab menjauhkan dirinya dari terjerumus ke dalam lahn,mereka mewajibkan untuk mempelajari bahasa arab. Ibnu ‘Abdil Barr rohimahulloh membuat satu bab pada permulaan kitabnya “Bahjatul Majaalis wa Unsul Mujaalis” tentang menjauhi lahn dan mempelajari bahasa arab, serta mencela sesuatu yang asing di dalam berbahasa. Beliau membawakan atsar-atsar dan syair-syair seputar permasalahan ini, dan memulainya dengan perkataan ‘Umar rodhiyallohu ‘anhu ketika beliau menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari rodhiyallohu ‘anhu: Ammaa ba’’du, perdalamilah oleh kalian sunnah dan pelajarilah bahasa arab, dan bacalah Al-Qur’an dengan bacaan orang Arab karena sesungguhnya Al-Qur’an dengan bahasa bangsa Arab.
Dan masih kata beliau rodhiyallohu ‘anhu: “Pelajarilah oleh kalian bahasa arab; karena sesungguhnya ini merupakan bagian agama kalian, dan pelajarilah oleh kalian faroid (ilmu tentang waris); karena sesungguhnya ini merupakan bagian agama kalian.
          Kata ‘Abdulloh bin Al-Mubarik: Lahn (kesalahan pengucapan) lebih buruk daripada bekas penyakit cacar pada wajah.
Dan kata Syu’bah: Permisalan orang yang belajar hadits tapi tidak belajar nahwu seperti kopiah, tidak ada kepalanya.
Dan kata Al-Ashma’i rohimahulloh: Sesungguhnya yang paling aku takuti atas penuntut ilmu –jika ia tidak tahu nahwu- akan masuk ke dalam keumuman sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka bersiap-siaplah ia menempati tempat duduknya di neraka”[1].
Dan kata Ibnu Jinni[2]Sesungguhnya kebanyakan mereka yang tersesat dari kalangan ahli syari’at adalah karena niat mereka, dan menyimpang dari metode yang paling utama karena mengikuti hawa nafsunya, dan kurangnya adab kesantunan, serta lemahnya dalam bahasa yang mulia ini yang seluruh syari’at ini diucapkan dengannya. (selesai).
Berkata Asy-Syaafi’i rohimahulloh: “Barangsiapa mendalam ilmu nahwunya maka ia akan mendapat petunjuk kepada setiap ilmu[3].
          Dan kata beliau juga rohimahulloh: “Tidaklah aku ditanya tentang suatu masalah dari masalah-masalah fiqih kecuali aku menjawabnya dengan kaidah-kaidah nahwu[4].
Dan masih kata beliau juga rohimahulloh: “Tidaklah aku menghendaki dengannya –yakni bahasa arab- melainkan untuk menolong bagi fiqih[5].
Demikian pentingnya bahasa arab dan ilmu-ilmunya, sehingga Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rohimahullohu Ta’ala di dalam muqoddimah kitabnya “At-Ta’liiqoot Al-Jaliyyah ‘Alaa Syarhil Muqoddimah Al-Ajruumiyyah” setelah menyebutkan basmalah dan hamdalah serta mengucapkan sholawat dan salam kepada Rosululloh, keluarganya dan para sahabatnya, beliau mengatakan: Ammaa ba’du, maka sesungguhnya ilmu nahwu adalah ilmu yang mulia, ilmu wasilah, yang menjadi wasilah (perantara) kepada dua perkara yang penting:
          Perkara yang pertama: Memahami kitabulloh dan sunnah Rosul-Nya shollallohu ‘alaihi wa sallam; karena sesungguhnya pemahaman yang banyak dari keduanya berdiri di atas pengetahuan nahwu.
          Yang kedua: Meluruskan lisan atas bahasa orang Arab yang Kalamulloh turun dengan bahasa ini.
Oleh karena itu, maka mengerti nahwu merupakan suatu perkara yang penting sekali, akan tetapi nahwu pada awalnya sulit dan di akhirnya mudah, dimisalkan seperti rumah yang terbuat dari bambu dan pintunya dari besi, maksudnya sulit sekali untuk memasukinya tapi jika kamu sudah memasukinya maka akan menjadi mudahlah bagimu segala sesuatunya. Oleh karena ini, seyogyanyalah bagi seseorang untuk bersemangat mempelajari permulaannya sehingga akan menjadi mudah baginya yang tersisa lainnya.
Tidak ada ‘ibroh dengan ucapan seseorang yang berkata:Sesungguhnya nahwu itu sulit. Sehingga orang yang mempelajarinya merasa seakan-akan ia tidak mungkin menguasai ilmu nahwu ini, maka sesungguhnya ini tidaklah benar. Pusatkan konsentrasi di permulaan mempelajarinya hingga akan mudah bagimu akhirnya.
Sebahagian orang berkata: Nahwu itu susah dan jenjangnya lama. Tapi kita tidak bersikap seperti ini bahkan kita mengatakan: nahwu itu mudah, tangganya pendek dan jenjangnya sebentar, tetapi pahamilah olehmu dari awalnya.
Definisi nahwu secara bahasa (etimologi): Al-Jihah (arah), kamu mengatakan dzahabtu nahwa fulaanin artinya jihatuhu (ke arahnya). Dan diantaranya Asy-Syibhu (menyerupai) dan Al-Mitslu (misal), kamu mengatakan Muhammad nahwu ‘Aliyyin artinya syibhuhu (menyerupainya) dan mitsluhu (semisalnya).
Definisi nahwu secara ishthilah (terminologi): Ilmu tentang kaidah-kaidah yang diketahui dengannya hukum-hukum akhir suatu kata bahasa arab pada susunan kalimatnya: berupa i’rob (perubahan bunyi akhir suatu kata) dan bina’ (tetapnya bunyi akhir suatu kata) serta apa-apa yang mengikuti hal tersebut.
Penyusunnya: Orang yang pertama kali menyusun ilmu nahwu berdasarkan riwayat yang masyhur adalah Abul Aswad Ad-Duali berdasarkan perintah Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu ‘anhu.

Disusun oleh: Djeni Abu Abdirrahman.
Sumber pustaka:
1-    At-Ta’liiqootul Jaliyyah ‘Alaa Syarhil Muqoddimah Al-Ajruumiyyah, oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rohimahullohu Ta’ala.
2-    At-Tuhfatus Saniyyah Bisyarhil Muqoddimah Al-Ajruumiyyah, oleh Muhammad Muhyiiddiin bin ‘Abdul Hamid.