Segala puji khusus bagi Allah, yang telah
memerintahkan untuk beristi’anah (meminta tolong kepada-Nya) dengan
kesabaran dan shalat dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup. Dia
memberitakan bahwa hal itu merupakan suatu yang berat kecuali bagi para
hamba-Nya yang khusyu’ . Allah juga menyifati kaum mukminin dengan
khusyu’ dalam shalat mereka. Allah menjadikannya sebagai sifat-sifat
mereka. Allah berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, [Al-Mukminun : 1-2]
Aku memuji-Nya atas besarnya anugerah dan
kebaikan-Nya. Aku bersaksi bahwa tidak ilah yang berhak diibadahi
kecuali Allah satu-satu-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya, sebagai bentuk
pengagungan terhadap-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba
dan rasul-Nya, sang juru dakwah kepada keridhaan-Nya, shalat Allah
atasnya dan atas keluarga dan para shahabatnya serta siapapun yang
mengikuti mereka dengan baik. Amma ba’d :
Wahai umat manusia, bertaqwalah kalian
kepada Allah. Ketahuilah bahwa khusyu’ dalam shalat merupakan ruh ibadah
shalat tersebut sekaligus maksud utama ditegakkannya ibadah shalat
tersebut. Allah telah menyifati para rasul-Nya dan para hamba-Nya yang
shalihin dengan sifat tersebut (khusyu’). Allah berfirman :
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang
yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik
dan mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas [1], dan mereka
adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya` : 90]
Allah juga berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, [Al-Mukminun : 1-2]
Allah juga menyifati para ‘ulama dengan
sifat khasy-yah (takut) kepada-Nya dan khusyu’ tatkala mendengar
Firman-Nya. Allah berfirman :
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” [Fathir : 28]
Allah juga berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ
قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا .
وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولا.
وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi
ilmu sebelumnya apabila Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka
menyungkur atas wajah mereka sambil bersujud, seraya mereka berkata:
“Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi”. Dan
mereka menyungkur atas wajah mereka sambil menangis dan mereka bertambah
khusyu’.” [Al-Isra` : 107-109]
Asal makna khusyu’ adalah kelembutan dan
ketenangan hati, serta ketundukannya. Apabila hati telah khusyu’ maka
akan diikuti oleh khusyu’ anggota badan. Sebagaimana sabda Nabi Shallahu
‘alaihi wa Sallam :
« أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً
إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ
الْجَسَدُ كُلُّهُ. أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ »
“Ketahuilah, bahwa dalam jasad itu
terdapat segumpal daging. Kalau ia baik, maka baik pulalah seluruh
jasad, namun apabila ia jelek maka jelek pulalah seluruh jasad.
Ketahuilah bahwa segumpal darah tersebut adalah hati.” [Muttafaqun
‘alaihi]
Apabila seseorang membuat-buat khusyu’
pada anggota badannya tanpa diiringi kekhusyu’an hati, maka yang
demikian adalah khusyu’ nifaq. ‘Umar Radhiyallah ‘anhu pernah melihat
seorang pemuda menundukkan kepalanya, maka ‘Umar pun berkata, “Wahai
kamu, angkat kepalamu, karena khusyu’ itu letaknya bukan di leher.
Sesungguhnya khusyu’ itu tidak lebih dari apa yang terdapat dalam hati.”
Khusyu’ yang terdapat dalam hati tidak
lain dihasilkan dari ma’rifah (pengenal dan ilmu) tentang Allah ‘Azza wa
Jalla dan ma’rifah tentang keagungan-Nya. Barangsiapa yang semakin
mengenal dan berilmu tentang Allah, maka dia makin khusyu’ terhadap-Nya.
Di antara sebab terbesar tercapainya khusyu’ adalah mentadabburi
Kalamullah. Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman :
لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللهِ
“Kalau seandainya Kami turunkan Al-Qur`an
ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah
belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan itlah
perumpamaan-perumpamaan kami buat untuk manusia agar mereka berfikir.”
[Al-Hasyr : 21]
Allah telah menyifati para ‘ulama dari
kalangan Ahlul Kitab dengan sifat khusyu’ ketika mendengar Al-Qur`an
ini. Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ
قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا .
وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولا.
وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi
ilmu sebelumnya apabila Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka
menyungkur atas wajah mereka sambil bersujud, seraya mereka berkata:
“Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi”. Dan
mereka menyungkur atas wajah mereka sambil menangis dan mereka bertambah
khusyu’.” [Al-Isra` : 107-109]
Allah telah mencela orang yang tidak khusyu’ ketika mendengar Firman-Nya. Allah berfirman :
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ
تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا
يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ
الأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi
orang-orang yang beriman, untuk khusyu’ hati mereka mengingat Allah dan
kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka
seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka
menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang
fasik.” [Al-Hadid : 16]
Bahkan Allah mengancam pemilik hati yang keras dengan firman-Nya :
فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللهِ أُولَئِكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ
Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka
yang telah mengeras hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam
kesesatan yang nyata. [Az-Zumar : 22]
Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam dulu
sering berlindung kepada Allah dari hati yang tidak khusyu’ ,
sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim
rahimahullah :
Bahwa Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam dulu sering berdo’a :
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ
لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ
وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak
pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan.”
Allah telah mensyari’atkan berbagai jenis
ibadah yang menampakkan kekhusyu’an hati dan badan. Di antaranya yang
terbesar adalah ibadah shalat. Dan Allah telah memuji orang-orang yang
khusyu’ dalam shalatnya dengan firman-Nya :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ . الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, [Al-Mukminun : 1-2]
Mujahid berkata : “Dulu para ‘ulama,
apabila salah seorang dari mereka berdiri dalam shalatnya, maka mereka
taku kepada Ar-Rahman ‘Azza wa Jalla untuk melirikkan pandangannya, atau
menoleh, atau memainkan pasir, atau melakukan sesuatu, atau mengajak
berbicara dirinya tentang urusan dunia kecuali jika lupa, selama ia
berada dalam shalatnya.”
Dalam Shahih Muslim dari shahabat ‘Utsman Radhiyallah ‘anhu dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
« مَا مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ
صَلاَةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا
إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوبِ مَا لَمْ
يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ »
“Tidaklah seorang muslim yang telah tiba
kepadanya waktu shalat wajib, kemudian dia membaikkan wudhu`nya,
khusyu’nya, dan ruku’nya kecuali itu menjadi kaffarah (penebus) atas
dosa yang telah lalu, selama tidak dilakukan dosa besar. dan itu berlaku
sepanjang tahun.”
Wahai para hamba,
Untuk tercapainya khusyu’ ada sebab-sebabnya,
di antara sebab yang terbesar : Seorang
hamba mengingat akan keagungan Allah ‘Azza wa Jalla yang dia sedang
berdiri di hadapan-Nya, dan bahwasanya Dia dekat dengannya, melihat, dan
mendengarnya, serta mengetahui segala apa yang terbesit dalam hatinya,
sehingga mendorongnya untuk malu kepada-Nya ‘Azza wa Jalla .
Di antara sebab-sebab tercapainya khusyu’
dalam shalat : meletakkan tangan yang satu di atas tangan yang lain
(bersedekap), yaitu meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dada.
Makna sikap yang demikian adalah menunjukkan pengrendahan diri dan
berkeping-kepingnya hati di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Al-Imam Ahmad
rahimahullah telah ditanya tentang maksud dari sikap (bersedekap)
tersebut, maka beliau menjawab : “Itu merupakan bentuk pengrendahan diri
di hadapan Dzat Yang Maha Perkasa.”
Di antara sebab-sebab tercapainya khusyu’
dalam shalat : menghentikan segala gerakan dan segala yang tidak
bermanfaat, serta senantiasa diam. Oleh karena itu, ketika seorang
‘ulama salaf melihat seorang pria bermain-main dengan tangannya dalam
shalatnya, maka ‘ulama salaf tersebut berkata, “Kalau seandainya hati
orang ini khusyu’, niscaya akan khusyu’ pula anggota badannya.”
Peristiwa ini diriwayatkan juga secara marfu’ sampai kepada Nabi
Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Sebagian orang apabila dia berdiri
menunaikan shalatnya, terkadang mereka masih bermain-main,
menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, atau bermain-main dengan jenggot
dan hidungnya, sampai-sampai tingkah lakunya untuk mengganggu orang yang
di sebelahnya. Ini menunjukkan tidak adanya khusyu’ dalam shalat.
Di antara sebab-sebab tercapainya khusyu’
dalam shalat : menghadirkan hati dalam shalat, dan tidak menyibukkan
dengan berbagai kesibukan dan pekerjaan duniawi. Ia konsentrasi penuh
menghadap kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan hatinya. Dan tidak
menyibukkan dengan sesuatu selain shalat.
Telah ada larangan untuk menoleh dalam shalat. Dijelaskan oleh para ‘ulama, bahwa menoleh itu ada dua macam :
Pertama, berpalingnya hati dari Allah
‘Azza wa Jalla. Yaitu hati berpaling kepada dunia dan berbagai
kesibukkannya, dan sama sekali tidak konsentrasi menghadap Rabbnya.
Dalam Shahih Muslim, dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam beliau bersabda tentang keutamaan dan pahala wudhu’ :
« … فَإِنْ هُوَ قَامَ فَصَلَّى فَحَمِدَ
اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَمَجَّدَهُ بِالَّذِى هُوَ لَهُ أَهْلٌ
وَفَرَّغَ قَلْبَهُ للهِ إِلاَّ انْصَرَفَ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَهَيْئَتِهِ
يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ »
“Jika kemudian dia berdiri menunaikan
shalat, seraya memuji, menyanjung, dan memuliakan Allah dengan pujian
yang sesuai bagi-Nya, dan hatinya konsentrasi penuh kepada Allah, maka
ia akan terlepas dari dosa-dosa seperti kondisinya pada hari ketika ia
dilahirkan oleh ibunya.”
Kedua, menoleh dengan pandangan ke kanan
atau ke kiri. Yang dituntunkan dalam syari’at adalah membatasi pandangan
hanya pada tempat sujudnya saja, karena itu merupakan di antara
konsekuensi kekhusyu’an, yang dengannya terputuslah darinya segala
pemandangan di sekitarnya yang bisa menyibukkannya.
Dalam Shahih Al-Bukhari dari shahabat
‘Aisyah Radhiyallah ‘anha : “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallahu
‘alaihi wa Sallam dari menoleh/berpaling dalam shalat? Maka beliau
menjawab :
« هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ أَحَدِكُمْ »
“Itu adalah curian, yang dicuri oleh syaithan dari shalat kalian.”
Al-Imam Ahmad dan At-Tirmidzi
meriwayatkan dari shahabat Al-Harits Al-Asy’ari, dari Nabi Shallahu
‘alaihi wa Sallam : Bahwa Allah memerintahkan Nabi Yahya bin Zakariyya
‘alaihis salam untuk menegakkan shalat.
فَإِنَّ اللَّهَ يَنْصِبُ وَجْهَهُ لِوَجْهِ عَبْدِهِ مَا لَمْ يَلْتَفِتْ ، فَإِذَا صَلَّيْتُمْ فَلاَ تَلْتَفِتُوا
Sesungguhnya Allah menghadapkan wajah-Nya
kepada wajah hamba-Nya selama sang hamba tersebut tidak
berpaling/menoleh. Maka jika kalian sedang shalat jangalah
berpaling/menoleh.”
Al-Imam Ahmad juga meriwayatkan dari shahabat Abu Dzarr Radhiyallah ‘anhu, dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
“Allah senantiasa menghadap kepada
seorang hamba dalam shalat-Nya selama sang hamba tersebut tidak
berpaling/menoleh. Jika sang hamba tersebut berpaling/menoleh, maka
Allah pun akan berpaling darinya.”
Wahai para hamba Allah,
Sesungguh ibadah shalat, dalam semua
gerakannya menunjukkan ketundukan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Seperti
berdiri, ruku’, sujud, serta bacaan dzikir yang diucapkan dalam
masing-masing gerakan tersebut. Allah berfirman :
وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ
“Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” [Al-Baqarah : 238]
Allah berfirman :
وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِين
“Ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ “ [Al-Baqarah : 43]
Karena ruku’ merupakan bentuk ketundukan
kepada Allah dan menghinakan diri di hadapan-Nya dengan sikap badan.
Sungguh orang-orang yang mutakabbir (sombong) menolak untuk sujud kepada
Allah, maka Allah pun mengancam mereka dengan firman-Nya :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ارْكَعُوا لا يَرْكَعُونَ . وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka:
“Ruku’lah kalian, niscaya mereka tidak mau ruku’. Kecelakaan yang
besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.” [Al-Mursalat :
48-49]
Di antaranya juga adalah sujud, yang itu
merupakan gerakan terbesar yang tampak padanya kehinaan seorang hamba
terhadap Rabb-nya ‘Azza wa Jalla. Yaitu ketika sang hamba menjadikan
anggota badan yang paling utama dan paling mulia serta paling tinggi,
menjadi paling rendah di hadapan Rabb-nya. Sang hamba meletakkan
wajahnya ke tanah, diiringi dengan berkeping-keping hati, merendah, dan
kekhusyu’an kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh karena itu balasan bagi
seorang mukmin apabila ia melakukan hal tersebut, maka Allah
mendekatkannya kepada-Nya. Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
« أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ »
“Sesungguh kondisi terdekat seorang hamba kepada Rabb-nya adalah ketika dia sedang sujud.”
Allah telah berfirman kepada Nabi-Nya :
وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ
“dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Allah).” [Al-’Alaq : 19]
Iblis telah sombong dari sujud, maka ia
menuai laknat dan kehinaan. Demikian kaum musyrikin dan munafiqin telah
sombong dari sujud, maka Allah ‘Azza wa Jalla ancam mereka bahwa mereka
akan Allah haramkan dari sujud kepada-Nya pada hari pertemuan
dengan-Nya, karena mereka tidak mau sujud kepada-Nya di dunia. Allah
Ta’ala berfirman :
يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ
إِلَى السُّجُودِ فَلا يَسْتَطِيعُونَ . خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ
تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ
سَالِمُونَ
“Pada hari betis disingkapkan dan mereka
dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak mampu melakukannya, (dalam
keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi
kehinaan. Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) telah diajak untuk
bersujud, dalam keadaan mereka sejahtera.” [Al-Qalam : 42-43]
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari
shahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallah ‘anhu berkata, aku mendengar
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
« يَكْشِفُ رَبُّنَا عَنْ سَاقِهِ فَيَسْجُدُ
لَهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ ، وَيَبْقَى مَنْ كَانَ يَسْجُدُ فِى
الدُّنْيَا رِئَاءً وَسُمْعَةً ، فَيَذْهَبُ لِيَسْجُدَ فَيَعُودُ ظَهْرُهُ
طَبَقًا وَاحِدًا »
“Rabb kita menyingkap betis-Nya, maka
sujudlah kepada-Nya seluruh mukmin dan mukminah, namun tinggal
orang-orang yang dulu sujud di dunia karena riya’ atau sum’ah. Dia
berupaya hendak bersujud, namun ternyata punggungnya hanya satu tulang
saja (sehigga tidak bisa digerakkan untuk sujud).”
Al-Imam Ibnu Katsir berkata : “Hadits
diriwayatkan dalam dua kitab shahih (yakin Shahih Al-Bukhari dan Shahih
Muslim) dan kitab-kitab lainnya dari banyak jalur periwayatan dan
berbagai macam lafazh, itu adalah hadits yang panjang dan terkenal.”
Di antara kesempurnaan kekhusyu’an
seorang hamba dalam ruku’ dan sujudnya, bahwa apabila dia menghinakan
diri dihadapan Rabbnya dengan ruku’ dan sujud, hendaknya dia menyifati
Rabb-nya ketika itu dengan sifat Kemuliaan, Kebesaran, Keagungan, dan
Ketinggian. Seakan-akan dia berkata : “Kehinaan dan kerendahan adalah
sifatku, sementara Ketinggian, Keagungan, dan Kebesaran adalah
sifat-Mu.” Oleh karena itu disyari’atkan kepada hamba dalam ruku’ untuk
membaca :
( سبحان ربي العظيم )
“Maha Suci Rabbku yang Maha Agung”
Dan ketika sujud membaca :
( سبحان ربي الأعلى )
“Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi”
Wahai kaum muslimin,
Sesungguhnya merenungkan rahasia-rahasia
dan faidah-faidah shalat adalah di antara yang bisa menjadikan seorang
hamba mudah mengerjakannya dan bisa merasakan lezatnya. Sebagaimana
sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam :
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاَة
“Telah dijadikan kesejukan mataku dalam shalat.”
Allah telah berfirman :
وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ
“Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’,” [Al-Baqarah : 45]
Allah juga berfirman :
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ
“Minta tolonglah kalian (kepada Allah) dengan cara sabar dan shalat.” [Al-Baqarah : 45]
Allah juga berfirman :
وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
“dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya
shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar, dan
sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya
dari pada ibadah-ibadah lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
[Al-’Ankabut : 45]
Namun tatkala seorang hamba lalai dari
berbagai faidah dan rahasia shalat, maka shalat menjadi berat atasnya.
Apabila dia masuk padanya, seakan-akan dia berada dalam penjara sampai
ia selesai darinya. Oleh karena itu kebanyakan motivasi pendorongnya
untuk masuk dalam shalat, hanyalah dalam rangka sebagai suatu rutinitas
belaka, atau sekadar membagus-baguskan diri.
Maka bertaqwalah kalian wahai para hamba
Allah dalam shalat-shalat kalian. Karena sesungguhnya shalat merupakan
tiang agama, bisa mencegah dari berbagai perbuatan keji dan dosa. Dan
shalat merupakan wasiat terakhir Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam ketika
beliau meninggalkan dunia ini, sekaligus amalan terakhir yang hilang
dari agama. Maka tidak ada agama lagi setelah hilangnya shalat.
[1] Maksudnya: mengharap agar Allah mengabulkan doanya dan khawatir akan azab-Nya