Segala
puji bagi Allah. Kita memuji-Nya. Kita meminta pertolongan kepada-Nya.
Dan kita berlindung kepada Allah dari kejelekan hawa nafsu dan amal
perbuatan kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak
ada yang dapat menyesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh-Nya
maka tidak ada seorang pun yang sanggup menunjuki-Nya. Aku bersaksi
bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah semata dan tiada sekutu
bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Beliau telah menyampaikan risalah. Beliau pun telah menunaikan amanah.
Beliau telah berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad. Semoga
shalawat dan salam dari Allah selalu terlimpah kepadanya, kepada
keluarga, para sahabat dan segenap pengikut mereka yang setia hingga
hari kiamat tiba.
Sesungguhnya bahasa Arab merupakan bahasa yang dipilih oleh Allah untuk agama ini. Tidak ada seorang cerdik pun yang meragukan jikalau peranan bahasa Arab bagi ilmu-ilmu Islam itu sebagaimana peranan lisan bagi segenap anggota badan. Bahkan, tidaklah berlebihan jika kita katakan bahwa sesungguhnya kedudukan bahasa Arab itu ibarat jantung bagi tubuh manusia. Sebab ia merupakan bahasa agama Islam yang paling luhur. Dengan bahasa inilah Al Qur’an Al ‘Azhim diturunkan. Allah jalla wa ‘ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf : 2)
Syaikhul Islam mengatakan: “Dan sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri bagian dari agama dan hukum mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itu wajib dan keduanya tidaklah bisa difahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Hal ini sesuai dengan kaidah : Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya maka ia juga hukumnya wajib. Namun disana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah.” (Iqtidho shirothil mustaqim)
Ilmu Nahwu adalah ilmu yang sangat penting. Sebab segala bidang ilmu syari’at pasti memerlukannya. Oleh sebab itu para penuntut ilmu sudah semestinya bersungguh-sungguh dalam memahami kaidah bahasa Arab dan berusaha untuk tidak terjatuh dalam kekeliruan dalam penuturan kata bahasa Arab. Khalifah Rasyid ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu menulis surat untuk Abu Musa Al Asy’ari yang isinya mengatakan,”Amma ba’du. Dalamilah ilmu As Sunnah. Pelajarilah ilmu bahasa Arab. I’rablah Al Qur’an, sebab ia itu berbahasa Arab.” Beliau pun berpesan,”Pelajarilah bahasa Arab karena sesungguhnya ia adalah bagian penting dari agama kalian. Pelajarilah ilmu waris, karena ia juga bagian penting dari agama kalian.”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,”Sesungguhnya ilmu Nahwu adalah ilmu yang mulia. Sebuah ilmu perantara yang menjembatani kepada dua hal yang sangat penting; Pertama : guna memahami Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal itu dikarenakan pemahaman terhadap banyak permasalahan yang ada di dalamnya sangat tergantung kepada pemahaman ilmu Nahwu. Kedua : guna membenarkan ucapan menurut kaidah bahasa Arab, yang dengan bahasa inilah Kalamullah ‘Azza wa jalla diturunkan. Oleh sebab itu pemahaman ilmu Nahwu adalah perkara yang sangat penting. Meskipun untuk memahami Nahwu memang pada awalnya terasa sukar, namun pada akhirnya akan terasa mudah. Ada sebagian orang yang membuat perumpamaan tentang ilmu Nahwu ibarat sebuah rumah yang terbuat dari bambu namun pintunya terbuat dari besi. Maksudnya, rumah itu sulit untuk dimasuki, namun jika kamu sudah memasukinya maka segala sesuatu akan menjadi mudah bagimu. Karena itulah sudah semestinya setiap orang bersemangat dalam mempelajari prinsip-prinsip dasar ilmu tersebut sehingga materi-materi lainnya akan terasa mudah baginya. Janganlah dipikirkan komentar orang yang mengatakan,”Nahwu itu sulit.” Sehingga hal itu akan memunculkan anggapan dalam diri seorang penuntut ilmu bahwasanya dirinya tidak mungkin bisa menguasainya. Padahal ungkapan itu tidak sepenuhnya benar. Akan tetapi hendaknya kamu perkuat pemahamanmu terhadap prinsip-prinsip dasarnya sehingga materi-materi lainnya akan menjadi mudah untuk dimengerti.” (Syarah Ajurumiyah)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim..” (I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya : Dengan cara apakah dapat diperoleh keikhlasan dalam menuntut ilmu ? Beliau menjawab : Ikhlas dalam menuntut ilmu itu bisa dicapai dengan beberapa hal :
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alu Syaikh menasehatkan,“Dalam tahapan menuntut ilmu ada dasar-dasar ilmu yang harus dipelajari. Ilmu itu juga bertingkat-tingkat. Barangsiapa yang tidak menuntut ilmu sesuai dengan tingkatan-tingkatannya serta tidak memulainya dengan ilmu-ilmu yang dasar-dasar, maka sesungguhnya dia tidak akan bisa meraih hasilnya dengan baik. Perkara ini sering sekali saya ingatkan supaya ia tertanam kuat di dalam hati para penuntut dan pecinta ilmu. Yaitu sebuah prinsip penting yang menyatakan bahwasanya : Ilmu itu seharusnya dituntut sedikit demi sedikit dan berjalan terus beriringan dengan perjalanan waktu siang dan malam. Sebagaimana hal itu pernah dilontarkan oleh seorang Imam yang sangat populer yaitu Ibnu Syihab Az Zuhri. Ketika beliau mengatakan, “Barangsiapa yang menginginkan segudang ilmu secara sekaligus maka niscaya ilmu itu akan hilang darinya juga secara tiba-tiba. Karena sesungguhnya ilmu harus ditimba (sedikit demi sedikit) seiring dengan perjalanan waktu siang dan malam.” (Syarh Arba’in An Nawawiyah)
0 komentar:
Posting Komentar