“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf: 2).

Rabu, 17 April 2013

Menjadi Pribadi yang Tawadhu

Menjadi Pribadi yang Tawadhu

Oleh: 
H. Habib Ziayadi
Mahasiswa Mahad Aly An-Nuaimy Angkatan ke-3
Pengasuh Ponpes Darul Muhibbin

100_1057


“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang bertakwa.” (QS An-Najm 32)
Di antara karakter positif orang yang beriman adalah tawadhu’ (rendah hati). Ia tidak menganggap dirinya manusia super sehingga memandang sebelah mata orang lain. Al-Qur’an pun mencela orang menganggap diri paling benar dan suci sedangkan orang lain dipandang salah dan berdosa. Ia malah menganjurkan kita untuk bersikap santun dan rendah hati kepada sesama.
Tawadhu itu adalah amalan hati yang tercermin dalam berperilaku. Pribadi tawadhu’ tak mudah patah hati bila tak dipuji. Ia pandai memelihara hatinya. Keberhasilan kerja baginya tidak dinilai dari pujian yang diterima dan penghargaan yang diraih. Ia akan terus bekerja, berkarya, dan tidak akan berhenti dengan atau tanpa hal itu.
Tawadhu adalah sikapnya para pahlawan yang berbuat tanpa sorot kamera, tepuk tangan penonton, dan siulan orang yang terpukau. Pahlawan itu bukan artis yang haus popularitas. Pahlawan hanya berbuat baik, berjuang, dan berkorban demi kepentingan orang banyak.
Pribadi yang tawadhu’ tidak menganggap dirinya paling berperan dalam suatu amal usaha. Karakter keakuan atau ananiah dibuangnya jauh-jauh. Bila ada orang memuji bahwa dialah yang paling berjasa dalam sebuah tim, ia menyebut bahwa itu semata-mata berkat kerja sama. ia tidak ingin menyakiti perasaan mitra kerjanya. Ia sangat hati-hati mengucapkan “itu kan karena saya”, karena ia khawatir berkurang keikhlasannya.
Berbeda dengan pribadi yang tinggi hati. Jargonnya selalu “kalau bukan karena saya”. Lakonnya adalah orang yang paling berjasa. Hobinya mencari kesalahan dan tak segan meremehkan. Hal ini sungguh telah menyalahi hadits Rasul SAW, “Sesungguhnya Allah mewahyukan padaku agar kalian saling menghargai sehingga seorang tidak meremehkan dan menganiaya orang lain.” (HR Muslim)
Orang yang gemar menghargai atau mengapresiasi kinerja orang lain merupakan partner kerja yang baik. Sementara menutup mata atas prestasi orang, sibuk mencari kelemahan, dan mengkritik habis-habisan adalah partner kerja yag menjengkelkan. Apabila kita pelit memberikan apresiasi terhadap karya orang lain, berarti kita sudah menjadi sosok tinggi hati. Demikian juga dengan keengganan mengucapkan terima kasih. Sebaliknya sifat tawadhu’ itu mudah memberikan apresiasi dan tak segan berterima kasih.
Menjadi pribadi yang tawadhu’ lantas tidak akan menjadikan seseorang hina di mata orang lain. Tawadhu itu malah sikapnya para ksatria. Ia angkat topi melihat kesuksesan orang dan mengakui jika diungguli lawan. Bila demikian, Allah sendiri yang akan mengangkat derajatnya. Bisa saja saat ini kerja kerasnya tidak dihargai atau namanya tak banyak disebut orang, karena memang bukan itu tujuan dan harapannya. Tapi suatu saat bisa jadi namanya akan harum dan kebaikannya akan banyak dikenang. Bukankah bau yang harum lambat laun akan tercium semerbak wanginya?
Pribadi semacam ini tidak gila kehormatan. Kalaupun ia orang yang berhak dihormati, ia ingin penghormatan yang secukupnya saja. Ia bahkan merasa sungkan bila dihormati berlebihan. Ia merasa tidak nyaman bila saat datang, orang-orang berdiri untuknya. Sungguh ia khawatir hal itu membuatnya jumawa. Pribadi ini juga lebih banyak menengok ke bawah dari pada melongo ke atas. Artinya, ia tidak gusar atas kelebihan materi orang lain, apalagi dengki. Masih banyak karunia Allah yang dinikmatinya, dan banyak pula orang yang mempunyai kekurangan di bawahnya.
Toh, seandainya kita sudah menjadi pribadi tawadhu, lalu kita memuji diri kita sebagai orang baik, itu tidak dibenarkan. Sebab, itulah dia trik tipu daya syetan yang lebih halus. Aisyah ra ditanya, “Kapan seseorang itu menjadi buruk akhlaknya?” Beliau menjawab, “Jika ia mengira dirinya itu orang yang baik akhlaknya.”1
Rasul SAW bersabda:
“Sedekah tidak mengurangi harta. Tidaklah bertambah pada diri hamba yang pemaaf kecuali kemuliaaan.
Tidaklah seorang itu bersikap tawadhu kepada Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR Muslim).
Lihat pribadi Rasul saw. Beliau adalah pemimpin umat, penguasa di Madinah ketika itu. Beliau tidak segan membantu istrinya mengerjakan pekerjaan rumah. Beliau tidak malu bercengkrama dengan orang miskin. Siapapun yang datang tidak akan ditolak. Beliau menolak penghormatan yang berlebihan. Itu semata-mata karena ketawadhuan yang dimilikinya.
Pribadi tawadhu tahu akan keutamaan ini, sehingga ia tidak perlu bersikeras untuk ingin dihormati dan dihargai. Kita ambil contoh lagi dari para pendahulu kita baik para ulama atau pejuang kemerdekaan kita, nama mereka menjadi buah bibir bahkan tercatat dengan tinta emas sejarah. Padahal mereka dulu tidak ngotot minta penghargaan dan pengakuan. Bejuang dan berkurban dmi kepentingan orang banyak adalah darah dan daging mereka. Degan ketawadhuan yang dimikinya, Allah sendiri yang mengangkat nama mereka.
Apresiasi atau pujian dari orang lain bukan harga mati keberhasilan. Sebab, pujian dan apresiasi kadang diselimuti motif tertentu. Kerja dan karir tidak akan tamat tanpa keduanya. Pribadi yang tawadhu’ tak akan jera mengukir prestasi, merajut mimpi, dan memancangkan asa demi kemuliaan yang hakiki, mendapat ridha Allah SWT.