“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf: 2).

Senin, 28 Mei 2012

SEJARAH AL-QUR'AN

SEJARAH AL QURAN


Apakah itu al-Quran.
·                     "Quran" menurut pendapat yang paling kuat seperti yang dikemukakan Dr. Subhi Al Salih bererti "bacaan", asal kata qara’a. Kata Al Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf’ul yaitu maqru’ (dibaca).
·                     Di dalam Al Qur’an sendiri ada pemakaian kata "Qur’an" dalam arti demikian sebagal tersebut dalam ayat 17, 18 surah (75) Al Qiyaamah:
Artinya:
·                     ‘Sesungguhnya mengumpulkan Al Qur’an (didalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggunggan kami. kerana itu jika kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikut bacaannya".
Kemudian dipakai kata "Qur’an" itu untuk Al Quran yang dikenal sekarang ini.
Adapun definisi Al Qur’an ialah: "Kalam Allah s.w.t. yang merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad dan yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah"
Dengan definisi ini, kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad s.a.w. tidak dinamakan Al Qur’an seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. atau Injil yang diturun kepada Nabi Isa a.s. Dengan demikian pula Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadis Qudsi, tidak pula dinamakan Al Qur’an.

Bagaimanakah al-Quran itu diwahyukan.
·                     Nabi Muhammad s.a.w. dalam hal menerima wahyu mengalami bermacam-macam cara dan keadaan. di antaranya:
1, Malaikat memasukkan wahyu itu ke dalam hatinya. Dalam hal ini Nabi s.a.w. tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada saja dalam kalbunya. Mengenai hal ini Nabi mengatakan: "Ruhul qudus mewahyukan ke dalam kalbuku", (lihat surah (42) Asy Syuura ayat (51).
2. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar akan kata-kata itu.
3. Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya loceng. Cara inilah yang amat berat dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada keningnya berpancaran keringat, meskipun turunnya wahyu itu di musim dingin yang sangat. Kadang-kadang unta beliau terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat, bila wahyu itu turun ketika beliau sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit: "Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang keras dan keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai turunnya wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa".
·                     4. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki seperti keadaan no. 2, tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli. Hal ini tersebut dalam Al Qur’an surah (53) An Najm ayat 13 dan 14.
Artinya:
·                     Sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada kali yang lain (kedua). Ketika ia berada di Sidratulmuntaha.

Hikmah diturunkan al-Quran secara beransur-ansur
Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari atau 23 tahun, 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah. Hikmah Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur itu ialah:
1. Agar lebih mudah difahami dan dilaksanakan. Orang tidak akan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh Bukhari dan riwayat ‘Aisyah r.a.
2. Di antara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan permasalahan pada waktu itu. Ini tidak dapat dilakukan sekiranya Al Qur’an diturunkan sekaligus. (ini menurut pendapat yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh).
3. Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.
4. Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang telah menayakan mengapa Al Qur’an tidak diturunkan sekaligus. sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an ayat (25) Al Furqaan ayat 32, yaitu:
·                     mengapakah Al Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekaligus
·                     Kemudian dijawab di dalam ayat itu sendiri:
·                     demikianlah, dengan (cara) begitu Kami hendak menetapkan hatimu
5. Di antara ayat-ayat ada yang merupakan jawaban daripada pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan, sebagai dikatakan oleh lbnu ‘Abbas r.a. Hal ini tidak dapat terlaksana kalau Al Qur’an diturunkan sekaligus.

Ayat Makkiyah dan ayat Madaniyah
·                     Ditinjau dari segi masa turunnya, maka Al Qur’an itu dibahagi atas dua golongan:
  1. Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah atau sebelum Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Makkiyyah.
2. Ayat-ayat yang diturunkan di Madinah atau sesudah Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Madinah dinamakan ayat-ayat Madaniyyah.
Ayat-ayat Makkiyyah meliputi 19/30 dari isi Al Qur’an terdiri atas 86 surah, sedang ayat-ayat Madaniyyah meliputi 11/30 dari isi Al Qur’an terdiri atas 28 surah.
Perbezaan ayat-ayat Makiyyah dengan ayat-ayat Madaniyyah ialah:
1. Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya pendek-pendek sedang ayat-ayat Madaniyyah panjang-panjang; surat Madaniyyah yang merupakan 11/30 dari isi Al Qur’an ayat-ayatnya berjumlah 1,456, sedang ayat Makkiyyah yang merupakan 19/30 dari isi Al Qur’an jumlah ayat-ayatnya 4,780 ayat.
Juz 28 seluruhnya Madaniyyah kecuali ayat (60) Mumtahinah, ayat-ayatnya berjumlah 137; sedang juz 29 ialah Makkiyyah kecuali ayat (76) Addahr, ayat-ayatnya berjumlah 431. Surat Al Anfaal dan surat Asy Syu’araa masing-masing merupakan setengah juz tetapi yang pertama Madaniyyah dengan bilangan ayat sebanyak 75, sedang yang kedua Makiyyah dengan ayatnya yang berjumlah 227.
2. Dalam ayat-ayat Madaniyyah terdapat perkataan "Ya ayyuhalladzi na aamanu" dan sedikit sekali terdapat perkataan ‘Yaa ayyuhannaas’, sedang dalam ayat ayat Makiyyah adalah sebaliknya.
3. Ayat-ayat Makkiyyah pada umumnya mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ancaman dan pahala, kisah-kisah umat yang terdahulu yang mengandung pengajaran dan budi pekerti; sedang Madaniyyah mengandung hukum-hukum, baik yang berhubungan dengan hukum adat atau hukum-hukum duniawi, seperti hukum kemasyarakatan, hukum ketata negaraan, hukum perang, hukum internasional, hukum antara agama dan lain-lain.

Nama-nama al-Quran
  Allah memberi nama Kitab-Nya dengan Al Qur’an yang berarti "bacaan".
·                     Arti ini dapat kita lihat dalam surat (75) Al Qiyaamah; ayat 17 dan 18 sebagaimana tersebut di atas.
  Nama ini dikuatkan oleh ayat-ayat yang terdapat dalam surat (17) Al lsraa’ ayat 88; surat (2) Al Baqarah ayat 85; surat (15) Al Hijr ayat 87; surat (20) Thaaha ayat 2; surat (27) An Naml ayat 6; surat (46) Ahqaaf ayat 29; surat (56) Al Waaqi’ah ayat 77; surat (59) Al Hasyr ayat 21 dan surat (76) Addahr ayat 23.
Menurut pengertian ayat-ayat di atas Al Qur’an itu dipakai sebagai nama bagi Kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w.
·                     Selain Al Qur’an, Allah juga memberi beberapa nama lain bagi Kitab-Nya, sepcrti:
  1. Al Kitab atau Kitaabullah: merupakan synonim dari perkataan Al Qur’an, sebagaimana tersebut dalam surat (2) Al Baqarah ayat 2 yang artinya; "Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya…." Lihat pula surat (6) Al An’aam ayat 114.
·                     2. Al Furqaan: "Al Furqaan" artinya: "Pembeda", ialah "yang membedakan yang benar dan yang batil", sebagai tersebut dalam surat (25) Al Furqaan ayat 1 yang artinya: "Maha Agung (Allah) yang telah menurunkan Al Furqaan, kepada hamba-Nya, agar ia menjadi peringatan kepada seluruh alam"
  3. Adz-Dzikir. Artinya: "Peringatan". sebagaimana yang tersebut dalam surat (15) Al Hijr ayat 9 yang artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan "Adz-Dzikir dan sesungguhnya Kamilah penjaga-nya" (Lihat pula surat (16) An Nahl ayat 44. Dari nama yang tiga tersebut di atas, yang paling masyhur dan merupakan nama khas ialah "Al Qur’an". Selain dari nama-nama yang tiga itu dan lagi beberapa nama bagi Al Qur’an. lmam As Suyuthy dalam kitabnya Al Itqan, menyebutkan nama-nama Al Qur’an, diantaranya: Al Mubiin, Al Kariim, Al Kalam, An Nuur.

Surah-surah dalam al-Quran
  Jumlah surat yang terdapat dalam Al Qur’an ada 114; nama-namanya dan batas-batas tiap-tiap surat, susunan ayat-ayatnya adalah menurut ketentuan yang ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah sendiri (tauqifi).
Sebagian dari surat-surat Al Qur’an mempunyai satu nama dan sebagian yang lain mempunyai lebih dari satu nama, sebagaimana yang akan diterangkan dalam muqaddimah tiap-tiap surat.
·                     Surat-surat yang ada dalam Al Qur’an ditinjau dari segi panjang dan pendeknya terbagi atas 4 bagian, yaitu:
  1. ASSAB’UTHTHIWAAL, dimaksudkan, tujuh surat yang panjang Yaitu: Al Baqarah, Ali Imran, An Nisaa’, Al A’raaf, Al An’aam, Al Maa-idah dan Yunus.
2. Al MIUUN, dimaksudkan surat-surat yang berisi kira-kira seratus ayat lebih seperti: Hud, Yusuf, Mu’min dsb.
3. Al MATSAANI, dimaksudkan surat-surat yang berisi kurang sedikit dari seratus ayat seperti: Al Anfaal. Al Hijr dsb.
4. AL MUFASHSHAL, dimaksudkan surat-surat pendek. seperti: Adhdhuha, Al Ikhlas, AL Falaq, An Nas. dsb.
g. Huruf-huruf Hijaaiyyah yang ada pada permulaan surat.
·                     Di dalam Al Qur’an terdapat 29 surat yang dimulai dengan huruf-huruf hijaaiyyah yaitu pada surat-surat:
  (1) Al Baqarah, (2) Ali Imran, (3) Al A’raaf. (4) Yunus, (5) Yusuf, (7) Ar Ra’ad, (8) lbrahim, (9) Al Hijr, (10) Maryam. (11) Thaaha. (12) Asy Syu’araa, (13) An Naml, (14) Al Qashash, (15) A1’Ankabuut, (16) Ar Ruum. (17) Lukman, (18) As Sajdah (19) Yasin, (20) Shaad, (21) Al Mu’min, (22) Fushshilat, (23) Asy Syuuraa. (24) Az Zukhruf (25) Ad Dukhaan, (26) Al Jaatsiyah, (27) Al Ahqaaf. (28) Qaaf dan (29) Al Qalam (Nuun).
Huruf-huruf hijaaiyyah yang terdapat pada permulaan tiap-tiap surat tersebut di atas, dinamakan ‘Fawaatihushshuwar’ artinya pembukaan surat-surat.
Banyak pendapat dikemukakan oleh para Ulama’ Tafsir tentang arti dan maksud huruf-huruf hijaaiyyah itu, selanjutnya lihat not 10, halaman 8 (Terjemah)

KENAPA AL-QUR'AN BERBAHASA ARAB

Mengapa Al-Qur’an berbahasa Arab?

Alasannya pastilah terkait dengan karakteristik Al-Qur’an itu sendiri, sehingga bahasa lain dianggap tidak layak digunakan oleh Al-Qur’an. Maka untuk menjawabnya, kita perlu tahu karakteristik Al-Qur’an itu sendiri.

1. Al-Qur’an untuk Semua Manusia

Berbeda dengan kitab suci agama sebelum Islam yang diperuntukkan khusus kepada kalangan terbatas, Al-Qur’an diperuntukkan untuk seluruh makhluk melata yang bernama manusia. Maka bahasa yang digunakan Al-Qur’an haruslah bahasa yang punya posisi strategis bagi semua bangsa manusia. Dan bahasa itu adalah bahasa arab dengan sekian banyak alasannya.
  1. Bahasa arab adalah bahasa tertua di dunia.

    Sebagian ahli sejarah bahasa mengatakan bahwa Nabi Adam as dan istrinya Hawwa adalah manusia yang pertama kali menggunakan bahasa Arab. Sebab mereka diciptakan di dalam surga, dimana ada dalil yang menyebutkan bahwa bahasa penduduk surga adalah bahasa arab. Ketika Adam as menjejakkan kaki pertama kali di permukaan planet bumi, maka bahasa yang dilafadzkannya tentu bahasa arab.

    Kalau kemudian anak-anak Adam berkembang biak dan melahirkan jutaan bahasa yang beragam di muka bumi, semua berasal dari bahasa arab. Jadi bahasa arab memang induk dari semua bahasa yang dikenal umat manusia. Wajar pula bila Al-Qur’an yang diperuntukkan untuk seluruh umat manusia menggunakan bahasa yang menjadi induk semua bahasa umat manusia.
  2. Bahasa Arab Paling Banyak Memiliki Kosa Kata

    Sebagai induk dari semua bahasa di dunia dan tetap digunakan umat manusia hingga hari ini, wajar pula bila bahasa Arab memiliki kosa kata dan perbendaharaan yang sangat luas dan banyak. Bahkan para ahli bahasa Arab menuturkan bahwa bahasa Arab memiliki sinonim yang paling menakjubkan. Kata unta yang dalam bahasa Indonesia hanya ada satu padanannya, ternyata punya 800 padanan kata dalam bahasa arab, yang semuanya mengacu kepada satu hewan unta. Sedangkan kata ’anjing’ memiliki 100-an padanan kata.

    Fenomena seperti ini tidak pernah ada di dalam bahasa lain di dunia ini. Dan hanya ada di dalam bahasa arab, karena faktor usia bahasa arab yang sangat tua, tetapi tetap masih digunakan sebagai bahasa komunikasi sehari-hari hingga hari ini. Dengan alasan ini maka wajar pula bila Allah SWT memilih bahasa arab sebagai bahasa yang dipakai di dalam Al-Qur’an.
2. Al-Qur’an Berlaku Sepanjang Masa

Berbeda dengan kitab suci agama lain yang hanya berlaku untuk masa yang terbatas, Al-Qur’an sebagai kitab suci diberlakukan untuk masa waktu yang tak terhingga, bahkan sampai datangnya kiamat. Maka bahasa yang digunakan Al-Qur’an haruslah bahasa yang tetap digunakan oleh umat manusia sepanjang zaman.

Kenyataannya, sejarah manusia belum pernah mengenal sebuah bahasa pun yang tetap eksis sepanjang sejarah. Setiap bahasa punya usia, selebihnya hanya tinggal peninggalan sejarah. Bahkan bahasa Inggris sekalipun masih mengalami kesenjangan sejarah. Maksudnya, bahasa Inggris yang digunakan pada hari ini jauh berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh orang Inggris di abad pertengahan. Kalau Ratu Elizabeth II masuk ke lorong waktu dan bertemu dengan ’mbah buyut’-nya, King Arthur, yang hidup di abad pertengahan, mereka tidak bisa berkomunikasi, meski sama-sama penguasa Inggris di zamannya. Mengapa?

Karena meski namanya masih bahasa Inggris, tapi kenyataannya bahasa keduanya jauh berbeda. Karena setiap bahasa mengalami perkembangan, baik istilah maupun grammar-nya. Setelah beratus tahun kemudian, bahasa itu sudah jauh mengalami deviasi yang serius.

Yang demikian itu tidak pernah terjadi pada bahasa Arab. Bahasa yang diucapkan oleh nabi Muhammad SAW sebagai orang arab yang hidup di abad ke-7 masih utuh dan sama dengan bahasa yang dipakai oleh Raja Abdullah, penguasa Saudi Arabia di abad 21 ini. Kalau seandainya keduanya bertemu dengan mesin waktu, mereka bisa ’ngobrol ngalor ngidul’ hingga subuh dengan menggunakan bahasa arab.

Dengan kenyataan seperti ini, wajarlah bila Allah SWT memilih bahasa arab sebagai bahasa Al-Qur’an Al-Kariem yang abadi. Kalau tidak, boleh jadi Al-Qur’an sudah musnah seiring dengan musnahnya bahasanya.

3. Al-Qur’an Mengandung Informasi yang Padat

Diantara keistimewaan bahasa arab adalah kemampuannya menampung informasi yang padat di dalam huruf-huruf yang singkat. Sebuah ungkapan yang hanya terdiri dari dua atau tiga kata dalam bahasa arab, mampu memberikan penjelasan yang sangat luas dan mendalam. Sebuah kemampuan yang tidak pernah ada di dalam bahasa lain.

Makanya, belum pernah ada terjemahan Al-Qur’an yang bisa dibuat dengan lebih singkat dari bahasa arab aslinya. Semua bahasa umat manusia akan bertele-tele dan berpanjang-panjang ketika menguraikan isi kandungan tiap ayat. Sebagai contoh, lafadz ’ain dalam bahasa arab artinya ’mata’, ternyata punya makna lain yang sangat banyak. Kalau kita buka kamus dan kita telusuri kata ini, selain bermakna mata juga punya sekian banyak makna lainnya. Di dalam kamus kita mendapati makna lainnya, seperti manusia, jiwa, hati, mata uang logam, pemimpin, kepala, orang terkemuka, macan, matahari, penduduk suatu negeri, penghuni rumah, sesuatu yang bagus atau indah, keluhuran, kemuliaan, ilmu, spion, kelompok, hadir, tersedia, inti masalah, komandan pasukan, harta, riba, sudut, arah, segi, telaga, pandangan, dan lainnya.

Bahasa lain tidak punya makna yang sedemikian padat yang hanya terhimpun dalam satu kata dan hurufnya hanya ada tiga. Dan wajar pula bila Allah SWT berkenan menjadi bahasa arab sebagai bahasa untuk firman-Nya yang abadi.

4. Al-Qur’an Harus Mudah Dibaca dan Dihafal

Sesuai dengan fungsi Al-Qur’an yang salah satunya sebagai pedoman hidup pada semua bidang kehidupan, Al-Qur’an harus berisi beragam materi dan informasi sesuai dengan beragam disiplin ilmu. Dan kita tahu bahasa dan istilah yang digunakan di setiap disiplin ilmu pasti berbeda-beda. Dan sangat boleh jadi seorang yang ahli di dalam sebuah disiplin ilmu akan menjadi sangat awam bila mendengar istilah-istilah yang ada di dalam disiplin ilmu lainnya.

Dan kalau beragam petunjuk yang mencakup beragama disiplin ilmu itu harus disatukan dalam sebuah kitab yang simpel, harus ada sebuah bahasa yang mudah, sederhana tapi tetap mengandung banyak informasi penting di dalamnya. Bahasa itu adalah bahasa Arab. Karena bahasa itu mampu mengungkapkan beragam informasi dari beragam disiplin ilmu, namun tetap cair dan mudah dimengerti. Dan saking mudahnya, bahkan bisa dihafalkan di luar kepala.

Salah satu karakteristik bahasa Arab adalah mudah untuk dihafalkan, bahkan penduduk gurun pasir yang tidak bisa baca tulis pun mampu menghafal jutaan bait syair. Dan karena mereka terbiasa menghafal apa saja di luar kepala, sampai-sampai mereka tidak terlalu butuh lagi dengan alat tulis atau dokunentasi. Kisah cerita yang tebalnya berjilid-jilid buku, bisa digubah oleh orang arab menjadi jutaan bait puisi dalam bahasa arab dan dihafal luar kepala dengan mudah. Barangkali fenomena ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tulis menulis kurang berkembang di kalangan bangsa arab saat itu. Buat apa menulis, kalau semua informasi bisa direkam di dalam otaknya?

Maka sangat wajar kalau Allah SWT menjadikan bahasa arab sebagai bahasa Al-Qur’an.

5. Al-Qur’an Harus Indah dan Tidak Membosankan

Salah satu keunikan bahasa arab adalah keindahan sastranya tanpa kehilangan kekuatan materi kandungannya. Sedangkan bahasa lain hanya mampu salah satunya. Kalau bahasanya indah, kandungan isinya menjadi tidak terarah. Sebaliknya, kalau isinya informatif maka penyajiannya menjadi tidak asyik diucapkan.

Ada sebuah pintu perlintasan kereta api yang modern di Jakarta. Setiap kali ada kereta mau lewat, secara otomatis terdengar rekaman suara yang membacakan peraturan yang terkait dengan aturan perlintasan kereta. Awalnya, masyarakat senang mendengarkannya, tapi ketika setiap kali kereta mau lewat, suara itu terdengar lagi, maka orang-orang menjadi jenuh dan bosan. Bahkan mereka malah merasa terganggu dengan rekaman suara itu. Ada-ada saja komentar orang kalau mendengar rekaman itu berbunyi secara otomatis.

Tapi lihatlah surat Al-Fatihah, dibaca orang ribuan kali baik di dalam shalat atau di luar shalat, belum pernah ada orang yang merasa bosan atau terusik ketika diperdengarkan. Bahkan bacaan Al-Qur’an itu begitu sejuk di hati, indah dan menghanyutkan. Itu baru pendengar yang buta bahasa arab. Sedangkan pendengar yang mengerti bahasa arab, pasti ketagihan kalau mendengarnya.

Tidak ada satu pun bahasa di dunia ini yang bisa tetap terdengar indah ketika dibacakan, namun tetap mengandung informasi kandungan yang kaya, kecuali bahasa arab. Maka wajarlah bila Allah SWT berfirman dengan bahasa arab.

Apa yang kami sampaikan ini baru sebagai kecil dari sekian banyak hikmah diturunkannya Al-Qur’an dengan bahasa arab. Kita tidak tahu apa jadinya bila Al-Qur’an ini tidak berbahasa arab. Mungkin bisa jadi Al-Qur’an hanya ada di musium saja.

Dan jikalau Kami jadikan al-Quraan itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan, "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?.... (QS Fushshilat: 44)

Wallahu a’lam bish-shawab, Wassalamu ’alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Sumber: Rubrik "Ustadz Menjawab" (www.eramuslim.com)
oleh Ustadz Ahmad Sarwat, Lc

Senin, 21 Mei 2012

TILAWAH Al-QUR’AN DAN ADAB-ADABNYA

TILAWAH Al-QUR’AN DAN ADAB-ADABNYA

Seorang muslim meyakini kesucian dan keutamaan kalamullah, kalam yang paling utama dan sempurna; tidak ada cela dan kebatilan sedikitpun padanya. Al-Qur`an merupakan sebaik-baik dan sebenar-benarnya kalam, barangsiapa yang berhukum dengan Al-Qur`an pasti ia akan berada di atas keadilan dan jauh dari kezhaliman. Dan barangsiapa yang berpegang teguh dengan Al-Qur`an (dan Al-Hadits) sebagai jalan hidupnya dalam segala aspek kehidupanya maka -dengan idzin Allah Ta’ala- hidupnya akan sukses di dunia hingga di akhirat kelak. Namun hal itu tidak akan bisa tercapai kecuali jika kita mempelajari dan melaksakannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka kita -sebagai seorang muslim- tidaklah pantas melupakan Al-Qur`an dan mengambil hukum lain dalam menyelesaikan permasalahan hidup. Dengan tilawah (membaca) dan memahami Al-Qur`an terus menerus, sedikit demi sedikit, Insya`Allah akan kita dapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang menambah keimanan kita.
Sebelum memasuki pembahasan inti (Tilawah Al-Qur`an & adab-adabnya) sebaiknya kita ketahui terlebih dahulu tentang makna Al-Qur`an, keutamaan – keutamaannya dan kewajiban-kewajiban yang bertautan dengannya, agar menambah semangat dalam Tilawah dan menjaga adab-adab terhadapnya.
MAKNA AL-QUR’AN
1. Secara bahasa atau etimologi.
Al-Qur`an (القرآن) adalah bentuk masdar dari kata ( يقرأ وقرآناً قرأ ) yang memiliki dua makna: (تلا) “Talaa” atau (جمع) “Jama`a”. Maka ma`nanya:
• (تلا) menjadi Isim maf`ul yang artinya (متلو) “Yang dibaca/ bacaan”.
• (جمع) menjadi mashdar, maka ma`nanya menjadi Isim Fa`il atau Kumpulan dari berbagai macam khabar-khabar dan hukum-hukum.
2. Secara syari`at
Al-Qur`an adalah kalamullah Ta`ala yang diturunkan kepada rasul-Nya dan penutup para nabi, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diawali dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْءَانَ تَنزِيلاً
Sesungguhnya telah Kami turunkan kepadamu (Muhammad) sebuah Al-Qur`an dengan sebenar-benarnya turun”. [Al-Insaan 23]
Allah Ta’ala telah menjamin Al-Qur`an yang agung ini dari perubahan; penambahan dan pengurangan ataupun pergantian. Dia berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. ([Al-Hijr :9]
Telah berlalu masa yang cukup lama semenjak Al-Qur`an diturunkan ( kurang lebih 15 abad) namun kitab yang suci ini tidak mengalami perubahan, penambahan, pengurangan atau penggantian ini semua menunjukan kebenaran janji Allah Ta’ala . [Lihat: Kitab Al-Ushul fit-Tafsir oleh: Syaikh Al-Utsaimin, hal: 10]
KEWAJIBAN-KEWAJIBAN TERHADAP AL-QUR’AN
Seorang hamba yang telah menyatakan dirinya muslim dan beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan rukun iman lainnya, maka ia mempunyai kewajiban terhadap Al-Qur`an, yang merupakan salah satu dari kitab-kitab Allah Ta’ala. Kewajiban-kewajiban itu antara lain:
1. Beriman terhadap Al-Qur`an. Konsekwensi pertama keimanan seorang mu`min terhadap Al-Qur`an adalah mempelajarinya, membacanya sekaligus mentadabburinya untuk mendapatkan nasehat dan pelajaran yang ada di dalamnya. Sebagaimana salah satu sifat Al-Qur`an adalah sebagai mau’izhah (nasehat; pelajaran). Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
يَآأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ
Hai sekalian manusia telah datang kepada kalian mau’izhah dari Rabb kalian. [Yunus : 57]
Demikian juga menjadikan Al-Qur`an sebagai petunjuk dalam menempuh perjalanan menuju Allah, dan dalam rangka inilah Al-Qur`an diturunkan. Firman-Nya.
إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus. [Al-Isra`:9]
2. Setelah diimani dan di ketahui hukum-hukumnya maka kewajiban kedua adalah menjalankan perintah-perintah Al-Qur`an sekaligus menjauhi hal-hal yang dilarangnya, kemudian menda`wahkannya ke seluruh ummat manusia. Hal itu dimulai dari diri sendiri, kemudian keluarga, dan seterusnya. Hal itu walaupun hanya satu ayat yang diilmu. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
بَلِّغُوْا عَنىِّ وَلَوْ آَيَةً… رواه البخارى في الأحاديث:3461)
Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat. [HR.Bukhari]
DIANTARA KEUTAMAAN TILAWAH DAN MEMPELAJARAI AL-QUR’AN
1. Orang yang mempelajari, mengajarkan, dan mengamalkan Al-Qur`an termasuk insan yang terbaik, bahkan ia akan menjadi Ahlullah (keluarga Allah). Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda.
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkanya” [HR Bukhari]
أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللهِ وَخَاصَّتُهُ ..رواه النسائى وابن ماجة والحاكم بإسناد حسن)
Ahli Al-Qur`an adalah Ahlullah dan merupakan kekhususan baginya
[HR. An-Nasa`i, Ibnu Majah, Al-Hakim. Lihat: Kitab Minhajul Muslim. hal. 70]
2. Mendapatkan Syafaat dari Al-Qur`an pada hari kiamat.
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ
Bacalah Al-Qur`an, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat memberikan syafaat bagi pembacanya”.[1] [HR. Muslim, dari Abu Umamah Al-Bahili]
3. Shahibul Qur`an akan memperoleh ketinggian derajat disurga.
يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُهَا
Dikatakan kepada Shahibul Qur`an (di akhirat): “Bacalah Al-Qur`an dan naiklah ke surga serta tartilkanlah (bacaanmu) sebagai mana engkau tartilkan sewaktu di dunia. Sesungguhnya kedudukan dan tempat tinggalmu (di surga) berdasarkan akhir ayat yang engkau baca”. [HR. Imam Tirmidzi, Abu Dawud, dari Abdillah bin Amru bin Ash Radhiyallahu 'anhuma] [2]
4. Orang yang membaca Al-Qur`an akan mendapatkan pahala yang berlipat-lipat.
Firman Allah Azza wa Jalla.
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ . لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karuniaNya. [Al-Fathir:29-30]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur`an) maka dia akan memperoleh satu kebaikan dan satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang semisalnya. Saya tidak mengatakan (الم) itu satu huruf, akan tetapi (ا) satu huruf dan (ل) satu huruf seta (م) satu huruf”. [HR. At-Tirmidzi, Ad-Darimi dan lainya; dari Abdullah bin Mas`ud Radhiyallahu 'anhu] [3].
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
Orang yang Mahir membaca Al-Qur`an akan bersama para Malaikat yang Mulia, sedangkan orang yang membaca (Al-Qur`an) dengan terbata-bata dan mengalami kesulitan dalam membacanya, maka dia akan mendapatkan dua pahala. [HR. Muslim dalam Shahihnya dari `Aisyah Radhiyallahu 'anha]
5. Sakinah (ketenangan) dan rahmat serta keutamaan akan diturunkan kepada
orang-orang yang berkumpul untuk membaca Al-Qur`an.
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah Azza wa Jalla untuk membaca Kitabullah (Al-Qur`an) dan mereka saling mempelajarinya kecuali sakinah (ketenangan) akan turun kepada mereka, majlis mereka penuh dengan rahmat dan para malaikat akan mengelilingi (majlis) mereka serta Allah akan menyebutkan mereka (orang yang ada dalam majlis tersebut) di hadapan para malaikat yang di sisi-Nya. [HR. Muslim]
6. Bacaan Al-Qur`an merupakan “Hilyah” (perhiasan) bagi Ahlul Iman (orang-orang yang beriman).
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الْأُتْرُجَّةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ التَّمْرَةِ لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ
Perumpamaan orang mu`min yang membaca Al-Qur`an laksana buah “Al-Utrujah” (semacam jeruk manis) yang rasanya lezat dan harum aromanya, dan perumpamaan orang mu`min yang tidak membaca Al-Qur`an ibarat buah “At-Tamr” (kurma) rasanya lezat dan manis namun tidak ada aromanya, dan perumpamaan orang munafiq yang membaca Al-Qur`an ibarat “Ar-Raihanah” (sejenis tumbuhan yang harum) semerbak aromanya (wangi) namun pahit rasanya, dan perumpamaan orang munafiq yang tidak membaca Al-Qur`an ibarat buah “Al-Handhalah” (nama buah) rasanya pahit dan baunya tidak sedap”. [HR. Bukhari, Muslim dari Abi Musa Al-Asy`ary Radhiyallahu 'anhu]
.
Dan diriwayatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengibaratkan bagi orang mukmin yang tidak pernah membaca Al-Qur`an (tidak ada bacaan Al-Qur`an didadanya) ibarat rumah yang tak berpenghuni; gelap, kotor, seolah-olah akan roboh.
إِنَّ الَّذِي لَيْسَ فِي جَوْفِهِ شَيْءٌ مِنَ الْقُرْآنِ كَالْبَيْتِ الْخَرِبِ
Sesungguhnya orang yang di dalam dadanya (hatinya) tidak ada bacaan Al-Qur`an (yakni tidak memiliki hafalannya) ibarat sebuah rumah yang hendak roboh. [HR. At-Tirmidzi, dan lainya] [4]
7. Orang yang berhak menjadi imam shalat adalah orang yang paling banyak hafalan Al-Qur`an dan luas pengetahuannya terhadap ilmu-ilmu Al-Qur`an.
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ
Orang yang paling berhak menjadi imam (dalam shalat) adalah orang yang paling pandai membaca Al-Qur`an. [HR. Muslim]
8. Boleh hasad kepada orang yang ahli Al-Qur`an dan mengamalkannya.
لَا حَسَدَ إِلَّا عَلَى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ هَذَا الْكِتَابَ فَقَامَ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَتَصَدَّقَ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ
Tidak boleh hasad [5] kecuali kepada dua orang : (1) Seseorang yang dikaruniai Al-Qur`an oleh Allah Ta’ala, kemudian ia melaksanakannya, di waktu siang maupun malam. (2) Seseorang yang dikaruniai harta oleh Allah kemudian ia bershadaqah dengannya di waktu siang maupun malam. [HR. Muslim]
9. Membaca dan memahami Al-Qur`an tidak bisa disamai oleh kemewahan harta duniawi.
أَفَلَا يَغْدُو أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَعْلَمُ أَوْ يَقْرَأُ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ وَثَلَاثٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلَاثٍ وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَرْبَعٍ وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنَ الْإِبِلِ
Tidakkah salah seorang di antara kamu berangkat ke masjid untuk mengetahui atau membaca dua ayat dari Kitabullah lebih baik baginya daripada dua onta, dan tiga (ayat) lebih baik baginya dari pada tiga (onta), dan empat (ayat) lebih baik baginya dari pada empat (onta), begitu seterusnya sesuai dengan jumlah (ayat lebih baik) dari onta. [HR. Muslim dari ‘Uqbah bin Amir]
10. Tilawah Al-Qur`an akan dapat melembutkan hati bagi pembacanya atau orang yang mendengarkanya dengan baik.
11. Kedua orang tua akan dihiasi dengan mahkota pada hari kiamat.
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَعَمِلَ بِمَا فِيهِ أُلْبِسَ وَالِدَاهُ تَاجًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ضَوْءُهُ أَحْسَنُ مِنْ ضَوْءِ الشَّمْسِ فِي بُيُوتِ الدُّنْيَا لَوْ كَانَتْ فِيكُمْ فَمَا ظَنُّكُمْ بِالَّذِي عَمِلَ بِهَذَا فيقولان: بم أعطينا هذا؟ فيقال: بأخذ ولد كما للقرآن. (رواه أبو داود في الوتر(1456) وأحمد في مسنده (15218) والحاكم في المستدرك (2086) وقال: صحيح الإسناد ولم يخرجاه).
Barangsiapa membaca Al-Qur`an dan mengamalkannya, maka -pada hari kiamat- akan dipakaikan kepada kedua orang tuanya sebuah mahkota yang berkilau, yang sinarnya lebih baik dari sinar mentari, maka keduanya berkata: “Mengapa kami diberi mahkota ini? Maka dikatakan: “Karena anakmu mengambil (membaca dan mengamalkannya) Al-Qur`an”. [HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Al-Hakim] [6]
MACAM-MACAM TILAWAH
Tiwalah Al-Qur`an secara umum terbagi atas dua bagian:
1. Tilawatu Lafdhihi ( تلاوة لفظه ) ya`ni membaca Al-Qur`an dari segi lafadz-lafadznya; tahapan ini yang mesti dilalui bagi pemula (orang yang baru mengenal islam) atau pun anak-anak, yaitu mengenal atau mengetahui makharijul huruf (tempat-tempat keluarnya huruf melalui lisan) dan shifat-shifat huruf Al-Qur`an serta mempelajari hukum-hukum tajwid yang semuanya guna memperbaiki tilawah itu sendiri; Sebagaimana arti tajwid itu sendiri:
a. Tajwid secara bahasa: ( جود – يجود – تجويداً) Ma`nanya “Menata sesuatu dengan baik” atau (التحسين) “Membaguskan”.
b. secara Istilah: (هو تصحيح التلاوة بالقرآن الكريم) “Yaitu membenarkan bacaan dalam tilawah Al-Qur`an Al-Karim”. [Al-Halaqatul Qur`an. hal.78]
2. Tilawatu Hukmihi (تلاوة حكمه) ya`ni membaca Al-Qur`an dari segi hukum-hukumnya ; yaitu menela’ah kandungan Al-Qur’an itu sendiri dengan mempercayai khabar-khabarnya, mengikuti hukum-hukum yang telah Allah tetapkan, dengan menjalankan perintah-perintahnya dan menjauhi seluruh larangan yang telah disebutkan di dalamnya, dan inilah tujuan utama diturunkanya Al-Qur`an. Firman Allah Azza wa Jalla.
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا ءَايَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. [Shad: 29]
Demikianlah jalan yang ditempuh oleh para salafus Shalih, dan atas dasar inilah mereka mempelajari Al-Qur`an kemudian mereka mempercayai beritanya dan menerapkan hukum-hukumnya.
Abu Abdur Rahman As-Sulami rahimahullah berkata: “Telah berkata kepada kami orang-orang yang membacakan/mengajarkan Al-Qur`an kepada kami, yaitu Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas`ud serta yang lainya: “Sesungguhnya mereka (para sahabat) apabila mempelajari 10 ayat (Al-Qur`an) dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak menambahnya sehingga mereka mengetahui ilmu dan mengamalkan apa yang terdapat di dalamnya. Mereka berkata: “Maka kami mempelajari Al-Qur`an, ilmu dan amal semuanya”. (Ini adalah atsar yang shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya (1/80-Syakir) dan beliau berkata: “Ini adalah sanad yang shahih, bersambung”.
Dan beliau menyatakan:
فتعلمنا القرآن والعمل جميعاً بدون لفظٍ “العلم”
Maka kami mempelajari Al-Qur`an dan mengamalkan semua (kandungannya)”, tanpa ada lafadz “Al-Ilmu”
Dan di antara hikmah tilawah adalah sebagai sarana untuk memahami Al-Qur’an sehingga bisa meyakini beritanya dan mengamalkan kandungannya, kemudian akan menghantarkan kepada kebahagiaan dan keselamatan:
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَيَشْقَى {123} وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى {124} قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيرًا {125} قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى {126} وَكَذَلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِن بِئَايَاتِ رَبِّهِ وَلَعَذَابُ اْلأَخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَى
Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. Berkatalah ia:”Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat”. Allah berfirman:”Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari inipun kamu dilupakan”. Dan demikanlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya terhadap ayat-ayat Rabbnya. Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih keka. [Thaha:123-127].
Sesungguhnya tilawah al-Qur’an adalah lebih afdhal (utama) daripada dzikir, dan dzikir lebih afdhal daripada do`a, hal ini dinyatakan oleh Al-Imam An-Nawawi di dalam kitabnya “Al-Adzkar” halaman: 101, beliau menyebutkan: “Seseungguhnya tilawah al-Qur’an itu lebih afdhal daripada dzikir-dzikir, dan di dalam qira’ah (tilawah) mempunyai adab-adab dan tujuan-tujuan.”
Oleh sebab itu, hendaknya kita (semua) sebagai thalibul ilmi, memperhatikan adab-adab dan menetapkan tujuan ketika hendak membaca Al-Qur’an; karena memang sesungguhnya al-Qur’an ini (adalah) yang kita baca, kita dengar, kita hafalkan dan kita tulis adalah kalam Rabb kita, Rabb semesta alam yang Maha Awal dan Maha Akhir. Al-Qur’an ini merupakan tali Allah yang sangat kuat, dan jalan-Nya yang lurus, serta merupakan dzikir yang penuh berkah dan cahaya yang terang. Inilah di antara sifat-sifat agung al-Qur’an, maka wajiblah kita mengagungkan dan memuliakannya. Apabila seorang hamba hendak membacanya maka janganlah dia meremehkannya dan janganlah sambil bermain-main.
DIANTARA ADAB-ADAB TILAWAH
1. Mengikhlaskan niat untuk Allah semata. Karena tilawah al-Qur’an termasuk ibadah, sebagaimana telah disebutkan pada keutamaan tilawah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
Sesungguhnya seluruh amalan itu tergantung pada niatnya. [HR. Bukhari-Muslim]
2. Menghadirkan hati (konsentrasi) ketika membaca, khusyu’, tenang dan sopan, berusaha terpengaruh (terkesan) dengan yang sedang dibaca, dengan memahami (menghayati) atau memikirkan (tafakkur-tadabbur) sebagaimana tujuan utama dalam tilawah.
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ
Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an?! [An-Nisa’:82, Muhammad:24]
Sopan, sebagai upaya memuliakan Kalam Allah Azza wa Jalla. Khusyu’ atau memusatkan hati dan pikiran (konsentrasi) sebagai upaya mengambil hikmah yang terkandung pada ayat yang kita baca; menampakkan kesedihan dan menangis, (ketika membaca ayat-ayat yang menceritakan adzab (siksa) neraka. Dan apabila tidak bisa maka berusahalah untuk bisa menangis. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ نَزَلَ بِحُزْنٍ فَإِذَا قَرَأْتُمُوهُ فَابْكُوا فَإِنْ لَمْ تَبْكُوا فَتَبَاكَوْا
Sesungguhnya al-Qur’an ini turun dengan kesedihan, maka jika kamu membacanya hendaklah kamu menangis, jika kamu tidak (bisa) menagis, maka berusahalah untuk menangis. [HR. Ibnu Majah] [7]
Allah berfirman:
وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’. [Al-Israa : 109]
Ibnu Mas’ud berkata.
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَأْ عَلَيَّ الْقُرْآنَ قَالَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ قَالَ إِنِّي أَشْتَهِي أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي فَقَرَأْتُ النِّسَاءَ حَتَّى إِذَا بَلَغْتُ ( فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا ) رَفَعْتُ رَأْسِي أَوْ غَمَزَنِي رَجُلٌ إِلَى جَنْبِي فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَرَأَيْتُ دُمُوعَهُ تَسِيلُ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm berkata kepadaku: “Bacakanlah al-Qur’an kepadaku!” saya pun berkata: Ya Rasulullah, apakah saya harus membacakan al-Qur’an kepadamu, sedangkan al-Qur’an diturunkan kepadamu?” Maka beliau menjawab: “Benar, akan tetapi saya senang (ingin) mendengarkan bacaan dari orang lain”. Kemudian sayapun membaca surat an-Nisa’ sampai: “Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)”. (ayat 41). Maka beliaupun berkata: “Cukup-cukup, maka tatkala saya melirik kepada beliau, beliau meneteskan air mata. [HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya]
3. Tilawah al-Qur’an, hendaknya di tempat yang suci (haram atau dilarang di WC) atau tempat-tempat yang tidak pantas untuk tilawah al-Qur’an yang suci. Terutama di masjid sebagai upaya memakmurkan masjid
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللهَ
Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menuaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) sela in kepada Allah. [At-Taubah : 18]
Selain di tempat yang suci, kitapun sebaiknya dalam keadaan suci (tidak dalam keadaan hadast besar dan hadats kecil) untuk memuliakan kalam Allah Ta’ala
4. Membaca do`a Isti`azhah (berlindungan kepada Allah Ta’ala dari godaan setan) ketika hendak membaca al-Qur’an.
Allah berfirman
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Apabila kamu membaca al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. [An-Nahl :98]
Membaca basmalah apabila membaca al-Qur’an dari awal surat, kecuali surat at-Taubah. Berlindung kepada Allah Ta’ala, yakni membaca:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
hukumnya wajib menurut sebagian ulama’ . [Lihat Mabahits fi Ulumil Qur’an]
Dan diantara bentuk membersihkan jasmani (selain mandi) ialah bersiwak atau memakai sikat dan pasta gigi dalam rangka membersihkan sisa makanan yang terdapat pada sela-sela gigi yang dapat membusuk, yang membuat mulut kita tidak enak baunya. Bersiwak merupakan salah satu bentuk ittiba` kepada sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa mendapat 2 kebaikan, bersih di mulut dan mendapat keridhaan Allah Ta’ala:
مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
Bersih dimulut dan mendapatkan ridha dari Tuhan (Allah Ta’ala )”. [HR. Bukhari dalam bab Shaum.1831].
5. Menghadap kiblat hal ini juga sebagai upaya menghidupkan sunnah dalam bermajlis.
خَيرُْ المجالس ما استقبل القبلة (رواه الطبرانى فى الأوسط من حديث ابن عمر
Sebaik-baik Majlis adalah yang menghadap kearah qiblat. [HR. Thabrani dalan Al-Ausath hadits dari Ibnu Umar]. [8]
6. Membaguskan suara dengan tidak ghuluw (melewati batas), riya` (agar dilihat orang) , sum`ah (agar didengar orang) atau ujub (mengagumi diri sendiri).
زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ ..رواه أحمد وابن ماجة والنسائى والحاكم وصححه
Perindahlah (bacaan) Al-Qur`an dengan suara kalian. (HR. Ahmad, Ibnu Majah Nasa`i dan Hakim menshahihkannya] [9].
Tetapi jangan sampai seseorang mengeraskan bacaannya di dalam mushalla (masjid) sementara orang lain dalam keadaan shalat, sedangkan hal yang demikian itu telang dilarang.
خَرَجَ عَلَى النَّاسِ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَقَدْ عَلَتْ أَصْوَاتُهُمْ بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ إِنَّ الْمُصَلِّيَ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيهِ بِهِ وَلَا يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ
Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada suatu kaum, sedang mereka sementara dalam keadaan shalat dan mengeraskan bacaannya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap kalian bermunajat (berbisik-bisik) kepada Rabbnya, maka janganlah kalian mengeraskan bacaan (Al-Qur`an) kalian atas sebagian yang lain. [HR. Imam Malik dalam kitabnya “Al-Muwatha`”[1/80]), Ibnu Abdil Barr berkata: “Ini adalah hadits shahih] [10]. [Lihat: Majaalis Syahrur Ramadhan; Syaikh Al-Utsaimin]
7. Hendaknya membaca dengan sirri (pelan) apabila dikhawatirkan dapat menimbulkan riya` atau sum`ah pada dirinya atau dapat mengganggu ketenangan dalam Masjid sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm.
الجْاَهِرُ بِالْقُرْآنِ كَالْجَاهِرُ بِالصَّدَقَةِ .
Mengeraskan (dalam membaca) Al-Qur`an sama dengan menampakan dalam bershadaqah. [Minhajul Muslim, hal.71] [11]
Dan telah diketahui bahwa shadaqah yang dicintai adalah yang sembunyi-sembunyi, kecuali dalam keadaan tertentu yang berfaidah. Misalnya: untuk mendorong orang lain agar melakukan seperti yang kita lakukan.
8. Hendaknya membaca Al-Qur`an dengan tartil.
وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيلا
Dan bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. [Al-Muzammil : 4]
Ali bin Abi Thalib menjelaskan ma`na tartil dalam ayat tersebut diatas adalah:
”Mentajwidkan huruf-hurufnya dengan mengetahui tempat-tempat berhentinya”. [Syarh Mandhumah Al-Jazariyah, hl. 13]
Maka seyogyanya bagi kita bersabar, jangan terburu ingin segera selesai (khatam) dalam membaca Al-Qur`an atau terburu nafsu ingin segera menguasai (memahami) Al-Qur`an sehingga lalai memperhatikan kaidah-kaidah dalam tilawah.
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dalam tilawah, menamatkan al-Qur’an kurang dari 3 malam, sebab tidak akan bisa memahami maknanya. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لَا يَفْقَهُ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فِي أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثٍ
Barangsiapa membaca al-Qur’an kurang dari 3 hari maka tidak akan dapat memahaminya. [HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah]
Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma supaya mengkhatamkan al-Qur’an setiap 7 hari (sekali). [HR. Mutafaq Alaih]
Adapun beberapa riwayat dari Salafus Shalih yang menyatakan bahwa di antara mereka ada yang mengkhatamkan al-Qur’an sehari semalam sekali, atau 2 kali khatam, atau 3 kali dan bahkan ada juga yang 8 kali khatam, maka semua itu tidak bisa menjadi hujjah karena bertentangan dengan hadits di atas. Demikian juga sekelompok Salaf tidak menyukai mengkhatamkan Al-Qur’an dalam sehari semalam. Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth mengomentari hadits di atas dengan perkataan: “Inilah yang benar dan sesuai dengan Sunnah. [Lihat At-Tibyan Fi Adab Hamalatil Qur’an, tahqiq: Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth, hal: 49]
Bacaan dengan perlahan-perlahan (tartil), bukan dengan cepat-cepat, hal yang demikian itu akan membantu dalam tadabbur (memahami) maknanya dan menghindari dari kesalahan dalam melafadzkan atau mengeluarkan huruf-hurufnya. Di dalam Shahih Bukhari disebutkan.
سُئِلَ أَنَسٌ كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَتْ مَدًّا ثُمَّ قَرَأَ ( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ) يَمُدُّ بِبِسْمِ اللَّهِ وَيَمُدُّ بِالرَّحْمَنِ وَيَمُدُّ بِالرَّحِيمِ
Dari anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ketika ditanya tentang qira’ah (bacaan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia berkata: “Bahwa bacaannya panjang-panjang, kemudian membaca: ( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ memanjangkan (بِبِسْمِ اللَّهِ ) kemudian (الرَّحْمَنِ) kemudian (الرَّحِيمِ ) [HR. Bukhari, 5046].
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهَا ذَكَرَتْ أَوْ كَلِمَةً غَيْرَهَا قِرَاءَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ آيَةً آيَةً
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha, bahwa dia menyebutkan bacaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu (beliau) memutus-mutus bacaannya ayat per ayat (satu ayat-satu ayat). [HR. Ahmad (6/3020, Abu Dawud (4001) Tirmidzi (2927) dan Dishahihkan An-Nawawi, dalam “Al-Majmu’” 3/333 ]
Dalam kitab Majalis Fi Syahri Ramadhan karya Syaikh Utsaimin dijelaskan, bahwa tidak mengapa dengan (bacaan) cepat yang tidak sampai merubah lafadz, dan tidak meninggalkan sebagian huruf atau idghamnya. Tetapi apabila tidak benar dalam pengucapan idghamnya, sampai salah dalam lafadznya, maka hal itu haram, karena yang demikian berarti mengganti lafadz al-Qur’an”.
9. Hendaknya sujud, ketika membaca ayat-ayat yang mengisyaratkan sujud, hal ini dilakukan dalam keadaan berwudhu’, di waktu siang maupun malam, dengan takbir dan mengucapkan: سبحان ربي الأعلى( Suci Rabbku yang Maha Tinggi) dan hendaklah berdoa, kemudian bangun dari sujud tanpa takbir dan tanpa salam. [Majaalis Syahrur Ramadhan; Syaikh Al-Utsaimin]
Syaikh Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthany, menyebutkan bahwa do’a sujud tilawah yang dibaca, berbunyi:
سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِي خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَ قُوَّتِهِ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Wajahku bersujud kepada Tuhan yang telah menciptakanku, yang memberi pendengaran dan penglihatanku, dengan daya dan upayaNya, Maha Suci Allah sebaik-baik pencipta. [HR. At-Tirmidzi 2/474, Ahmad 6/30 dan Hakim dan disetujui Ad-Dzahabi 1/220]
Ada beberapa ayat yang disunahkan sujud ketika membacanya, yaitu:
Dalam surat al-A’raf: 206, Ar-Ra’d: 15, An-Nahl: 50, Al-Isra’:109, Al-Furqan: 60, Al-Hajj: 18 dan 77, Al-Furqan: 60, An-Naml:26, As-Sajdah:15, Shaad:24, An-Najm:62, Al-Isyiqaq:21, Fushilat:38, Al-Alaq:19
WAKTU-WAKTU TEPAT UNTUK TILAWAH AL-QUR’AN
Ketahuilah bahwa sebaik-baik bacaan adalah di waktu shalat. Dan madzab Imam Asy-Syafi’i dan yang lain rahimahullah, berpendapat memanjangkan bacaan (al-Qur’an) di dalam shalat lebih baik daripada (memanjangkan) sujud dan lainnya. Adapun bacaan selain di dalam shalat (yang afdhal) adalah bacaan di malam hari, dan pertengahan terakhir di malam hari lebih baik daripada di permulaan malam, bacaan yang dicintai (bacaan) di antara maghrib dan isya’, dan bacaan siang hari yang afdhal setelah shalat subuh. Dan bacaan diwaktu-waktu lain bukanlah waktu yang tercela untuk membaca al-Qur’an di dalam atau di luar shalat.
Adapun tatkala Ibnu Abi Dawud rahimahullah dari Mu’adz bin Rifa’ah dari para syeikh bahwasanya mereka membenci (tidak suka) bacaan setelah shalat ashar, dan mereka berkata: Sesungguhnya itu adalah waktu yang dipergunakan belajar oleh orang-orang Yahudi, maka (yang demikian) itu tidak dapat diterima, karena tidak ada dasarnya. [Dinukil dari kitab “Al-Adzkar” An-Nawawi]
Demikianlah, maka kami mengajak seluruh pembaca untuk bersama-sama memanfaatkan waktu kita masing-masing untuk membuka lembaran demi lembaran kitab Allah, dengan penuh kecintaan dan tidak bosan-bosan, sesuai kesanggupan kita masing-masing. Kemudian kita dakwahkan kepada keluarga kita, saudara-saudara kita dan seluruh umat manusia, perlu diketahui bahwa membaca dan mengkhatamkan (menamatkan) al-Qur’an adalah merupakan aktifitas atau amalan yang terbaik.
Ikhwani fiddin…
Kita pelihara al-Qur’an, agar terjaga dari berbagai penyimpangan atau perubahan. Kita berdoa kepada-Nya, semoga Allah memperkenankannya. Semoga menjadi saksi bagi kita, kita bersyukur kepada-Nya, semoga kita diberikan rahmat dan petunjuk dari padaNya.
Akhirnya kita berdo’Allah Ta’ala dengan doa:
Ya Allah! Anugerahkan kepada kami dari bacaan Kitab-Mu agar (bacaan kami) menjadi sebenar-benarnya bacaan, dan jadikanlah kami, tergolong orang-orang yang mendapatkan kebaikan dan kebahagian.
Ya Allah!…jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mendalam ilmunya, orang-orang yang beriman dengan (ayat-ayat) yang muhkam (tetap, pasti dan jelas maknanya) dan mutasyabih (ayat-ayat yang sulit dipahami), meyakini berita-beritanya, dan dapat mengambil manfaat dari hukum-hukumnya, dan ampunilah kami dan kedua orang tua kami dan seluruh kaum muslimin, dengan Rahmat-Mu Yang Maha Pemurah dan Pengasih, dan semoga shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad dan keluarganya, para sahabatnya dan seluruh kaum muslimin yang setia mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Disusun oleh Abdul Wahid).
Maraji’:
1. Kitab Al-Adzkar, An-Nawawiyah, (Nawawi)
2. Minhaajul Muslim, Abu Bakar Jaabir Al-Jazaairi
3. Tafsir Ibnu Katsir
4. Majaalis Syahru Ramadhan, Muhammad bin Shalih bin Utsaimin
5. Hisnul Muslim, Said bin Wahfi Al-Qhahthany
6. Riyadhus Shalihin, Imam Nawawy
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
________
Footnote
[1]. Ahlul Qur’an atau Shahibul Qur’an adalah orang yang membaca (mempelajari) Al- Qur’an dan mengamalkan hukum-hukumnya serta beradab dengan adab-adabnya. Lihat Bahjatun Nazhirin II/225, 230 -Red
[2]. Hadits ini dihasankan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin II/230, no:1001-Red
[3]. Hadits ini dishahihkan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin II/229, no:999-Red
[4]. Tetapi hadits ini didha’ifkan oleh Syeikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin II/230, no:1000, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. -Red
[5]. Yang dimaksud adalah ghibthah, yaitu: menginginkan kebaikan seorang tanpa menginginkan hilangnya dari orang tersebut-Red
[6]. Tetapi Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth mengomentari hadits ini di dalam tahqiq kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an, hal:16: “Isnadnya dha’if”. Demikian juga didha’ifkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam kitab Dha’if Jami’ush Shaghir no:5762; Al-Misykat no:2139 dan Dha’if Abi Dawud no:239. Maka tidak bisa dijadikan hujjah -Red
[7]. Syeikh Abdul Qadir Al-Arnauth mengomentari hadits ini di dalam tahqiq kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an, hal:68: “Isnadnya dha’if”. Tetapi menangis ketika membaca Al-Qur’an merupakan kebiasaan Salafus Shalih-Red
[8]. Tetapi hadits ini didha’ifkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam kitab Dha’if Jami’ush Shaghir no:1124 dan Adh- Dha’ifah no:1486. Maka tidak bisa dijadikan hujjah -Red
[9]. Hadits ini dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Jami’ush Shaghir no: 3580, 3581-Red
[10]. Hadits ini dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Jami’ush Shaghir no: 1951-Red
[11]. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih al-Jami’us Shagir no. 3105 -Red